Perlawanan Warga dalam Merawat Air dan Ruang di Jawa Bagian Tengah

Diskusi mengenai perlawanan warga demi air dan ruang hidup
(livie/lppmsintesa.com)

Pada Jum’at (01/11), Departemen Politik dan Pemerintah UGM mengadakan diskusi buku Ngelep, Ngrumat, Niteni: Ekologi Politik Merawat Air dan Ruang Hidup di Jawa Bagian Tengah. Dimoderatori oleh Ardiman Kelihu (Peneliti POLGOV UGM) dengan tiga orang penulis buku yang menjadi pembicara yaitu Yesaya Sandang, Iqbal Alma Ghosan, dan Marwa. Diskusi tersebut juga menghadirkan dua orang penanggap yaitu Suraya Affif (Dosen Antropologi UI) dan Hariati Sinaga (Dosen Kajian Gender UI). Diskusi ini menyoroti peran warga dalam merawat air dan ruang hidup yaitu dengan melakukan perlawanan dan respons terhadap pemerintah.

Membuka pemaparannya, Yesaya membahas terkait persoalan air dan pariwisata di Kota Yogyakarta. Menurutnya, sektor akomodasi pariwisata menjadi salah satu sektor yang mengonsumsi air dalam jumlah banyak. “Jadi ketika 725 hotel dengan jumlah pengunjung maksimal di Yogyakarta ini, itu dia setara dengan konsumsi air rumah tangga di 12.558 RT atau 50.233 warga,” terang Yesaya. Yesaya juga menjelaskan bahwa perbandingan tersebut memang setara secara kuantitas. Namun secara kualitas, hal itu tidak setara dikarenakan penggunaan air di sektor pariwisata bukan merupakan hak asasi manusia.

Selain itu, Yesaya juga menjelaskan terkait indikasi perlawanan yang dilakukan masyarakat dalam berbagai bentuk. “Saya menemukan, ternyata pada masa-masa itu, terjadi kolaborasi yang diinisiasi oleh warga berdaya menjadi satu wadah cair yang kemudian diikuti oleh kelompok lain,” terang Yesaya. Yesaya menyebut, terdapat beberapa pihak yang ikut andil seperti lembaga riset kampus IIS, organisasi seni IVAA, WALHI dan lain sebagainya dengan cara perlawanan mereka masing-masing.

Diskusi dilanjutkan dengan pemaparan Iqbal terkait isu di Tambakrejo, daerah pesisir Semarang, yang memiliki sejarah cukup panjang perlawanan warga. Iqbal melanjutkan bahwa masyarakat miskin kota terbentuk atas masyarakat yang mencari penghidupan yang lebih layak. Namun, karena adanya ketimpangan sosial dan ekonomi ketika mereka menempati kota, akhirnya masyarakat miskin kota memilih lokasi yang rawan akan bencana alam maupun konflik kepentingan. “Dan itu lokasi yang akhirnya dipilih juga oleh warga Tambakrejo. Mereka memanfaatkan lokasi tambak untuk akhirnya menjadi pemukiman mereka,” sambung Iqbal.

Lebih lanjut, Iqbal juga memaparkan bahwa Semarang merupakan kota yang sering dilanda banjir. Namun pemerintah justru mengambil tindakan penggusuran sebagai solusi. “Dan kita bisa liat akhirnya perbandingan ketika akhirnya bagaimana warga merawat air dengan pemerintah yang merawat air gitu kan. Mereka mengorbankan hak-hak warga demi solusi banjir,”  tegas Iqbal.

Di sisi lain, Marwa memaparkan mengenai warga yang memiliki peran krusial terkait pelestarian sumber daya alam, khususnya air bersih dengan melawan resistensi pembangunan. “Sebenarnya, dinamika kekuasaan dalam pengelolaan sumber daya lingkungan bisa ditantang dan didorong [melalui] aktivisme warga,” ujar Marwa. Marwa juga menegaskan bahwa kelompok marginal atau masyarakat yang tidak memiliki kuasa pun berkontribusi merawat air.

Merespons diskusi, Suraya memperhatikan satu fokus, yaitu respons warga terhadap konflik tersebut. Menurutnya, faktor yang memperkuat respons warga yaitu ketika ada yang mendampingi dan didukung oleh pemberitaan yang akhirnya akan menekan dan mendesak pemerintah. “Jadi, itu [menjadi] satu bukti bahwa tidak mungkin pemerintah akan bertindak kalau tidak ada tekan,” tegas Suraya.

Selanjutnya, Suraya menjelaskan bahwa untuk merespons suatu konflik memiliki tantangan yang besar. “Ada tawaran yang menyulitkan, kemudian kita membangun aliansi melawan yang namanya relasi kapitalisme gitu ya,” ucap Suraya. Suraya juga menyebutkan bahwa dalam membangun solidaritas perlu adanya kesadaran kolektif terkait relasi kapitalisme yang akan menyebabkan kemiskinan.

Pada konteks yang berbeda, Hariati memberi penekanan terhadap dua hal penting yang melibatkan perawatan. Dua hal tersebut, menurut Hariati adalah aksi dan pengetahuan yang saling berkaitan. “Jadi, dalam aksi, juga ada pengetahuan yang terbentuk gitu ya. Pengetahuan yang kemudian penting untuk pengembangan teknologi dan inovasi,” ujar Hariati.

Menutup diskusi, Hariati juga memerhatikan kaum marginal seperti perempuan juga penting. Hariati menganggap perempuan dan kelompok marginal menjadi pihak yang paling terdampak permasalahan ekologi akibat posisi sosialnya. “Mereka akhirnya harus melakukan lebih banyak kerja-kerja perawatan tadi, apapun pemahaman tentang merawat air, bisa diduga gitu, mereka melakukan kerja lebih banyak gitu ya karena posisi sosialnya,” pungkas Hariati.

Penulis: Astara Aji Satria dan Rafa Farros Arkana (Magang)

Penyunting: Anastasya Niken Pratiwi

Fotografer:

guest
0 Komentar
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments