
Aliansi Jogja Memanggil yang terdiri dari berbagai elemen masyarakat melakukan aksi tolak pengesahan RUU TNI di halaman DPRD DIY, Kamis (20/03). Aksi yang dimulai pukul 11.00 WIB dan berakhir keesokan harinya pada pukul 01.30 WIB, awalnya berlangsung tertib. Namun, menjelang sore hingga malam, aksi kekecewaan terhadap pengesahan RUU TNI ini kian memanas.
Massa aksi yang mengenakan pakaian serba hitam bergerak dari parkiran Abu Bakar Ali menuju Gedung DPRD DIY. Sepanjang perjalanan, massa dengan lantang menyanyikan lagu Buruh Tani dan meneriakkan “Revolusi”. Setibanya di Gedung DPRD DIY, massa segera memasuki halaman gedung dan melakukan orasi perlawanan dengan mobil komando. Massa dengan cepat menurunkan bendera Merah Putih hingga setengah tiang dan memasang poster serta spanduk-spanduk raksasa di depan gedung.
Massa bertahan sampai malam hari, namun polisi hanya memberi batas waktu hingga pukul 24.00 WIB bagi massa untuk membubarkan diri. Setelah melewati batas waktu yang diberikan, massa dipukul mundur dari halaman DPRD DIY menggunakan meriam air. Meskipun begitu, massa tetap gigih bertahan di sepanjang Jalan Malioboro selama satu jam. Akhirnya, sekitar pukul 01.30 WIB polisi memaksa massa untuk membubarkan diri dan mensterilkan Jalan Malioboro.
Melalui rilis media, perwakilan Aliansi Jogja Memanggil, Bung Koes dan Marsinah, menyatakan bahwa RUU TNI mengalami cacat prosedural. Mereka juga menyebut rancangan undang-undang tersebut penuh konflik kepentingan. Dalam hal ini, Bung Koes memaparkan bahwa RUU tersebut tidak tercantum dalam Prolegnas DPR 2025 maupun RPJMN 2025–2029. Selain itu, partisipasi publik yang bermakna pun tidak terwujud dalam proses penyusunannya.
Bung Koes menilai proses pengesahan RUU TNI yang berlangsung sangat cepat menunjukkan adanya kepentingan terselubung antara pemerintah, DPR, dan militer. Ia menyatakan kondisi ini berpotensi membawa Indonesia kembali ke situasi 1998, yaitu reformasi karena dwifungsi TNI kembali mencuat lewat pengesahan RUU tersebut. Sejalan dengan itu, Marsinah menegaskan situasi saat ini mengarah pada kembalinya kekuasaan Orde Baru yang berorientasi militer, mengingat dwifungsi TNI diberlakukan lagi. “Kita sama-sama mengetahui bahwa situasi ini mengarah kembali pada kekuasaan Orde Baru,” tegas Marsinah.
Ketika semangat massa dibakar lewat orasi, Ketua Komisi A DPRD DIY, Eko Suwanto (Fraksi PDIP), keluar menemui mereka. Eko mendukung tuntutan yang dibawa oleh massa dan berjanji akan menyampaikannya ke pemerintah pusat serta DPR RI. Dalam kesempatan itu, Eko membacakan rilis media yang dibawa massa dan menandatanganinya. Namun, beberapa peserta aksi meragukan komitmen Eko. “Kawan-kawan, kita ingat bahwa Komisi 1 yang mengesahkan UU TNI merupakan fraksi PDIP,” tegas seorang peserta aksi.
Dosen Departemen Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM, Joash Tapiheru, turut hadir dalam aksi Tolak RUU TNI. Joash mengingatkan adanya pihak-pihak yang mendukung RUU TNI dengan klaim bahwa naskahnya tidak secara eksplisit mengatur kembalinya dwifungsi. Menurutnya, masyarakat harus lebih kritis karena kemunduran demokrasi tidak terjadi secara sekejap, tetapi secara perlahan dalam sepuluh tahun terakhir. “Pola kembalinya dwifungsi TNI tidak terjadi tiba-tiba, melainkan berlangsung perlahan dan dimulai dari disahkannya RUU TNI saat ini,” jelas Joash.
Joash menilai naskah RUU TNI tidak transparan dan masih dangkal dibandingkan dengan UU Nomor 34 Tahun 2004. Terlebih, pembentukannya hanya berdasarkan kajian yang sangat minim. Dalam pandangan Joash, RUU TNI bukan jawaban untuk meningkatkan profesionalitas militer seperti yang berlangsung pada era SBY dengan Minimum Essential Force (MEF). Dalam hal ini, MEF menempatkan TNI pada peran utamanya sebagai alat pertahanan negara saja.
Selain dosen, salah satu mahasiswa yang mengikuti aksi, Shafri Naufal, mengungkapkan kekhawatirannya soal pengesahan RUU TNI. Ia menilai dampak RUU TNI bersifat negatif, sebab ruang-ruang sipil bisa saja disusupi oleh militer dan berpotensi menekan kebebasan berekspresi mahasiswa. “Menurut saya dalam pelebaran militer yang masuk ke dalam lembaga-lembaga sipil akan terpandang negatif, tidak ada wajah positif dari RUU tersebut,” ujarnya. Shafri menyerukan ajakan untuk mahasiswa agar lebih peduli terhadap aksi penolakan RUU TNI, karena ini tidak hanya soal mahasiswa, tetapi juga menyangkut kepentingan masyarakat luas. Meskipun RUU TNI telah disahkan, Shafri berharap bahwa perjuangan ini akan terus dikawal hingga RUU berpihak pada kepentingan sipil, bukan militer.
Penulis: Siti Nurrobani, Vania Anggelina
Penyunting: Anastasya Niken Pratiwi