Permulaan bulan ini datang lagi. Suasana yang tak jauh berbeda jika dibandingkan dengan September-September sebelumnya. PPKM berlevel-level yang terus diperpanjang tanpa bantuan berarti dari pemerintah ataupun penghapusan mural-mural berisikan kritik oleh aparat menambah gelap planet yang sedang dikhianati sinar bulan ini. Selamat datang di September Hitam! Bulan di mana banyak raga bergelimpangan demi legitimasi berdirinya sebuah kekuasaan.
Hingga saat ini, sejumlah peristiwa pelanggaran HAM di negara ini tak pernah terselesaikan dengan tuntas. Berbagai macam protes dan aksi demonstrasi tak dianggap sebagai hal yang berarti dalam pelaksanaan demokrasi negara ini. Kata sebagian orang, masuk telinga kanan keluar telinga kiri. Maaf, jika saya salah sebut, maksud saya: masuk telinga kanan dan keluar telinga kanan. Ya, mendal. Pemerintah kita tak pernah menanggapi dengan serius apa yang telah disuarakan rakyatnya terkait masalah HAM. Pelaku berkeliaran bebas tanpa pernah diadili dengan tegas. Deretan nama korban terus bertambah tanpa tahu kapan dan siapa yang selanjutnya akan mendapat giliran. Akankah aku, kamu, dia, atau kita semua yang menjadi sasaran keganasan negara selanjutnya?
Rantaian kasus September Hitam setidaknya dimulai dari tragedi pembantaian 1965-1966. Masa transisi dari Orde Lama ke Orde Baru dibarengi dengan kekerasan yang dilakukan oleh pemerintah. Konon lebih dari dua juta orang menjadi korban pembunuhan, penangkapan sewenang-wenang, pemerkosaan, penyiksaan, dsb. sebab tuduhan terlibat ataupun menjadi anggota Partai Komunis Indonesia (PKI). Perampasan hak pun tak berhenti sampai di situ. Stigma yang ditempelkan pemerintah Orde Baru terhadap orang-orang yang dituduh terlibat PKI menyebabkan tak sedikit pula dari mereka dan keluarganya yang berakhir dengan pengucilan dari masyarakat. Tidak bisa mendapatkan kehidupan layak sebab kesulitan mencari pekerjaan dan tempat tinggal adalah lanjutan dari cerita-cerita horor tersebut. Sayangnya, propaganda Orde Baru untuk terus membenci korban tak kunjung berhenti. Sebut saja film Pengkhianatan G30S PKI yang kerap kali muncul di akhir bulan. Isi film ini merupakan pandangan Orde Baru terhadap G30S yang dibumbui fantasi sebab tak sepenuhnya benar-benar terjadi.
Tragedi Tanjung Priok mengisahkan kekejaman lain di mana Komnas HAM menemukan setidaknya 23 orang meninggal dunia dan puluhan orang ditangkap dan ditahan tanpa melalui proses hukum yang tepat, beberapa lainnya pun dinyatakan hilang. Keganasan aparat bermula dengan adanya pencemaran rumah ibadah yang dilakukan oleh aparat yang berujung dengan hujan peluru. Massa Islam tak mampu mengimbangi tembakan aparat yang menggila dengan memberondong peluru ke segala arah penjuru. Sejak terjadinya peristiwa ini di tahun 1984, hingga sekarang tak ada kejelasan hukuman yang dijatuhkan pada pelaku. Alih-alih hukuman berat, yang justru terjadi adalah pembebasan 12 terdakwa pelaku pembunuhan massal.
Peristiwa Semanggi II berkata lain, Penentangan mahasiswa dan rakyat terhadap RUU Penanggulangan Keadaan Bahaya (PKB) dan tuntutan mencabut dwifungsi ABRI yang terjadi pada 24-28 September 1999 berujung dengan melayangnya 11 nyawa dan 217 lainnya luka-luka. Kolaborasi antara kedua hal ini dianggap sebagai perpaduan yang sempurna untuk mengukuhkan posisi militer di dalam kehidupan bernegara. Padahal, aksi represi oleh aparat saat itu masih banyak terjadi. Hingga saat ini, pemerintah pun tak terlihat ingin menyelesaikan kasus ini dengan serius. Bahkan, Jaksa Agung Burhanuddin Harahap, pernah menyatakan bahwa tragedi Semanggi I dan II bukanlah kasus pelanggaran HAM berat. Gugatan telah dilayangkan oleh keluarga korban Semanggi I dan II, namun berakhir dengan dibatalkannya putusan PTUN Jakarta一yang menyatakan bahwa perbuatan Jaksa Agung melawan hukum一sebab diterimanya banding yang diajukan Jaksa Agung. Hal ini setidaknya menggambarkan sedikit kepingan dipersulitnya keluarga korban HAM dalam menuntut keadilan.
Zaman berlanjut dengan bertambahnya korban baru di tangan pemerintah. Munir, aktivis yang mendirikan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) ini dibunuh pada 7 September 2004 dalam penerbangannya dari Jakarta menuju Amsterdam. Otak utama dan motif di balik pembunuhannya pun masih menjadi misteri hingga saat ini. Terdapat dugaan bahwa ia dibunuh sebab membawa beberapa dokumen penting seputar pelanggaran HAM seperti kasus Talangsari, penculikan aktivis 1998, dan kampanye hitam pemilihan umum tahun 2004. Hilangnya Dokumen Laporan Tim Pencari Fakta kasus Munir di kantor Sekretariat Negara yang baru diketahui tahun 2016 bak permainan drama murahan yang dipertontonkan pemerintah di depan rakyatnya sendiri.
Lima tahun kedua kepemimpinan Jokowi dimulai dengan menyumbang daftar panjang pelanggaran HAM di Indonesia. Aksi demonstrasi Reformasi Dikorupsi yang dimulai sejak 23 September 2019 di berbagai daerah menyebabkan setidaknya 5 orang meninggal di tangan aparat. Awalnya, beberapa Undang-Undang kontroversial yang diterbitkan oleh DPR dan pemerintah dianggap hanya akan menguntungkan kelompok tertentu, sehingga kemudian menyebabkan elombang aksi yang berasal dari berbagai elemen masyarakat terus berlanjut. Namun, alih-alih merevisi/menggagalkan Undang-Undang dan Rancangan Undang-Undang yang bermasalah, kebrutalan aparat lagi-lagi datang menjemput untuk menutup ruang aspirasi masyarakat.
Sedikit mundur beberapa tahun yang lalu, teringat jelas ketika dua individu berebut memeluk hati rakyat dalam debat capres 2019. Si Pemenang d̶e̶b̶a̶t̶ Pemilu berulang kali berjanji untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu, sedangkan musuh debatnya yang berada di bawah bayang-bayang pelanggaran HAM terkait penculikan aktivis demokrasi kini menjadi Menteri Pertahanan. Hari-hari silih berganti dan janji-janji itu belum terbukti hingga kini. Yang justru terjadi adalah bertambahnya daftar kasus pelanggaran HAM dan sikap kontroversial pemerintah yang merangkul pelanggar HAM untuk bekerja sama di dalam pemerintahan. Sebut saja pemberian Bintang Jasa Utama oleh Jokowi kepada Eurico Guterres, eks pimpinan milisi Timor Timur pro Indonesia yang menurut Amnesty International Indonesia diduga terlibat dalam kejahatan kemanusiaan di Timor Timur tahun 1999. Terlihat sangat berniat untuk memberantas pelanggar HAM bukan?
Sikap abai pemerintah terhadap beberapa kasus pelanggaran HAM berat menjadi bukti ketidakseriusan pemerintah dalam menjalankan tugasnya sebagai pelindung rakyat. Demokrasi yang berdiri di atas pelanggaran HAM tak lebih hanya sekadar ilusi yang hadir menghantui diri-diri di sudut negeri. Entah sampai kapan nanti, nyawa makin tak berarti di hadapan pemerintah sendiri. September Hitam adalah bukti ganasnya pemerintah dalam menjalankan keberlangsungan negara.
Melupakan tragedi bukanlah solusi bagi negeri ini. Pelanggaran HAM oleh negara bisa saja terus melaju dan enggan untuk memberhentikan diri. Aku dan kamu tidak ada yang tahu, siapa yang menjadi sasaran kekejaman selanjutnya? Akankah September melunturkan bercak-bercaknya lewat kehadiran orang suci? Atau mungkinkah malah menambah gelap pekat hitam lewat tetesan-tetesan darah diri-diri yang mati dieksekusi? Tak satupun mengerti. Sebab itu, ketikan pukul dua belas malam ini saya tuliskan sebagai pengabadian dan penolakan atas dosa-dosa besar yang dilakukan oleh negara selama ini. Siapkan diri, karena kita tak akan pernah dianggap mengerti.
Penulis: Fariz Azhami
REFERENSI
Aji, M. (2020). 16 Tahun Kasus Munir: Raibnya Dokumen Hingga Mengejar Dalang Utama. Tempo. Retrieved 3 September 2021, from https://nasional.tempo.co/read/1383957/16-tahun-kasus-munir-raibnya-dokumen-hingga-mengejar-dalang-utama.
BBC. (2019). Prabowo: Bayang-bayang isu pelanggaran HAM dan mengapa kembali ikut pilpres – BBC News Indonesia. BBC News Indonesia. Retrieved 3 September 2021, from https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-47436153.
Halim, D. (2021). Dibatalkan, Putusan PTUN soal Pernyataan Jaksa Agung terkait Tragedi Semanggi. KOMPAS.com. Retrieved 3 September 2021, from https://nasional.kompas.com/read/2021/03/08/18361131/dibatalkan-putusan-ptun-soal-pernyataan-jaksa-agung-terkait-tragedi-semanggi?page=all.
KontraS. (2021). Tragedi Semanggi II. Kontras.org. Retrieved 3 September 2021, from https://kontras.org/semanggi-2/.
KontraS. (2020). 36 Tahun Peristiwa Tanjung Priok: Negara Masih Abai Seperti Dulu. Kontras.org. Retrieved 3 September 2021, from https://kontras.org/2020/09/12/36-tahun-peristiwa-tanjung-priok-negara-masih-abai-seperti-dulu/.
KontraS. Reformasi Dikorupsi. Kontras.org. Retrieved 3 September 2021, from https://kontras.org/reformasi-dikorupsi/.
KontraS. Tragedi 1965-1966. Kontras.org. Retrieved 3 September 2021, from https://kontras.org/kasus65/.
Raditya, I. (2019). Sejarah Tragedi Tanjung Priok: Kala Orde Baru Menghabisi Umat Islam. tirto.id. Retrieved 3 September 2021, from https://tirto.id/sejarah-tragedi-tanjung-priok-kala-orde-baru-menghabisi-umat-islam-cwpi.
Rahma, A. (2021). Amnesty International Minta Jokowi Cabut Bintang Jasa Eurico Guterres. Tempo. Retrieved 3 September 2021, from https://nasional.tempo.co/read/1494332/amnesty-international-minta-jokowi-cabut-bintang-jasa-eurico-guterres/full&view=ok.
Sari, D. (2012). Film PKI, Seberapa Berhasil Propaganda Orde Baru?. Tempo. Retrieved 3 September 2021, from https://nasional.tempo.co/read/432795/film-pki-seberapa-berhasil-propaganda-orde-baru.