
Rabu (12/02), Serikat Pekerja Fisipol (SPF) UGM menggelar aksi solidaritas di depan Balairung UGM. Aksi yang diikuti oleh tenaga pendidik, tenaga kependidikan, dan mahasiswa ini digelar mulai pukul 12.00 hingga 13.00 WIB. Melalui rilis media, SPF menuntut empat poin krusial terkait tunjangan kinerja (Tukin). Keempat tuntutan tersebut adalah menuntut pencairan tukin bagi semua dosen ASN tanpa diskriminasi, termasuk dosen PTN-BH; membebaskan pendidikan tinggi dari komersialisasi; mendorong solidaritas antara civitas akademika untuk kampus yang inklusif dan adil; serta menolak penyalahgunaan narasi pengabdian dosen.
Permasalahan tukin yang belum cair dari tahun 2020 hingga 2024 tersebut direspons oleh beberapa dosen yang menghadiri aksi solidaritas. Supraja, Dosen Sosiologi UGM, mengkritik bahwasanya tindakan pemotongan anggaran pendidikan demi efisiensi itu tidak masuk akal. Sebagai dosen ASN yang bekerja di PTN-BH, Praja mengatakan beberapa waktu ke belakang UGM melepas sebagian beban untuk menanggung pajak dosen sehingga tidak lagi disubsidi. “Bisa dibayangkan kalau pengurangannya signifikan, itu akan berpengaruh pada penghidupan kami. Sementara yang terjadi di luar, biaya hidup makin tinggi,” kritiknya.
Meskipun begitu, Praja memiliki keyakinan bahwa aksi solidaritas tersebut akan kian membesar, apalagi ini bersentuhan dengan hajat dunia pendidikan. Menurutnya, dunia pendidikan justru mengalami penurunan dibanding penaikan. Praja mencontohkannya dengan kualitas riset di Indonesia yang bukannya membaik justru sebaliknya. Pada akhirnya, Praja berharap bahwa dunia pendidikan akan membaik. “Saya kira tidak ada negara yang maju tanpa didukung oleh dunia pendidikan yang kuat,” ujarnya.
Sejalan dengan Praja, Mochtar Habibi, dosen Manajemen dan Kebijakan Publik (MKP) Fisipol UGM, menuntut agar negara memberikan tukin kepada seluruh dosen di Indonesia. Absennya negara dalam membayarkan tukin kepada para dosen PTN-BH, menurut Mochtar, merupakan bagian dari politik anggaran, yakni pemerintah lebih mengutamakan sektor pertahanan ketimbang sektor pendidikan. “Ini terkait prioritas anggaran. Pemerintah mengaku tidak punya uang, tetapi anggaran dipakai untuk beli senjata di Kemenhan dan anggaran Polri tidak berkurang,” jelas Muchtar.
Selain politik anggaran di pemerintahan, Muchtar dengan gamblang menolak komersialisasi PTN-BH karena menurutnya berdampak terhadap tidak dibayarnya tukin dosen. “Negara mengalihkan tanggung jawabnya kepada PTN-BH agar nyari duit sendiri. Yang jadi korban mahasiswa harus membayar UKT yang mahal dan dosen tidak mendapatkan apa-apa,” tambah Muchtar. Dia meminta agar negara mengambil alih kembali tanggung jawabnya dalam membiayai institusi pendidikan milik negara.
Selain dosen, Nahar Ilham, mahasiswa MKP yang hadir dalam aksi ini bercerita, sebagai sesama pekerja turut memiliki rasa solidaritas kepada para dosen yang menuntut haknya. Menurutnya, aksi ini bukan untuk menuntut sesuatu yang baru, melainkan untuk hal yang sudah ada dari dulu dan semestinya diberikan. “Ini bagian dari kita berjuang,” tegas Nahar.
Penulis: Siti Nurrobani, Getsamane Eleazar Arapenta Sitepu
Penyunting: Maritza Ayushitanaya
Fotografer: Getsamane Eleazar Arapenta Sitepu