Hampir enam dekade berlalu sejak terjadi tragedi Gerakan 30 September tahun 1965 (G30S). Sebuah peristiwa kelam yang muskil hilang dari garis sejarah Indonesia. Selain menjadi bagian dari sejarah bangsa, G30S berperan dalam membentuk negeri sebagaimana wujudnya hari ini. Sejarah ini tidak akan terlupakan, menjelma di tiap jejak langkah penghuni negeri, membayangi pelupuk mata dan akhirnya merupa dalam kenangan memilukan. Termasuk bagi 12.000 tahanan yang dibuang ke Pulau Buru, buntut dari peristiwa G30S. Merekalah jiwa raga yang terhukum, tanpa sempat merasakan empuknya kursi peradilan.
Dilansir dari Tempo, para tahanan politik (tapol) yang ditangkap akibat G30S dibagi menjadi tiga golongan. Golongan A, mereka yang dianggap berperan langsung dalam peristiwa G30S dan dijatuhi hukuman mati. Golongan B adalah para kader yang dianggap terlibat tidak langsung dalam G30S. Terakhir, golongan C merupakan anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dicap hanya ikut-ikutan. Tapol golongan B itulah yang mendominasi Pulau Buru. Pulau terpencil di Kepulauan Maluku dengan kondisi tandus dan sedikit hewan buruan.
Sebelum dikirim ke sana, mereka terlebih dahulu diasingkan selama kurang lebih empat tahun di Jakarta, Tangerang, Nusakambangan, Solo, Yogyakarta, dan Surabaya. Pemberangkatan ke Pulau Buru dilakukan secara bertahap sejak tahun 1969 hingga 1970 dengan tanpa pemberitahuan. Dengan menggunakan kereta api tanpa jendela beserta kawalan pasukan bersenjata, para Tapol memulai perjalanan mereka. Untuk jalur laut, disediakan sebuah kapal tua dengan hanya dua bilik toilet yang mirisnya tidak berfungsi. Makanan yang disediakan pun sangat ala kadarnya. Setibanya di tujuan, mereka harus berjalan selama enam jam untuk menuju pedalaman.
Kehidupan para tahanan di Pulau Buru tak lepas dari bayang-bayang nestapa. Di tanah asing tanpa kebebasan. Mereka dipaksa menumpahkan keringat, diperas tenaganya sedari subuh hingga malam menyergap. Tugas pertama mereka adalah membangun jalur untuk pasokan pangan tanpa peralatan yang memadai sebab peralatan baru tersedia 10 hari kemudian. Selain itu, mereka juga diperintah mendirikan berbagai sarana prasarana seperti dapur tambahan, rumah sakit, gedung seni, barak, markas, pos penjaga, pos komando, kediaman komandan, dan halaman yang ditumbuhi 26 pohon. Termasuk menggarap ladang dan sawah berhektar-hektar. Seolah memanggil keajaiban dari tanah tak berjanji, para tapol dipaksa menyulap daratan tandus menjadi tempat siap huni.
Saat mengerjakan ranah publik, tapol dilarang berkutat dengan kepentingan pribadinya. Keseharian mereka tersita oleh pelbagai pekerjaan yang wajib dilaksanakan. Tidak jarang para tapol mendapat instruksi untuk melayani para petugas aparat dengan alasan agar mereka kembali menjadi manusia pancasilais. Beratnya beban kerja tersebut menyebabkan sejumlah tapol sakit. Apalagi jika dilanda musibah gagal panen yang menyebabkan banyak tahanan meninggal akibat kelaparan dan kekurangan gizi. Situasi tersebut membuat tapol terpaksa hanya mengonsumsi sagu, daun, dan hewan yang ada di Pulau Buru. Segala upaya dilakukan demi tetap menghirup nafas kehidupan.
Nahas, makanan sehari-hari para tapol jauh dari kata layak. Terdapat istilah “sayur kepala” dan “sayur pentil” yang merujuk pada makanan yang dikonsumsi. “Sayur kepala” berarti semangkuk sup yang terbuat dari air hangat dicampur garam dan kuah sup itu memantulkan bayangan kepala para tapol. Sedangkan maksud “sayur pentil” adalah sayuran berisi dua potongan batang kangkung yang mirip dengan pentil ban. Selain kedua istilah tersebut, para tapol memiliki beberapa sebutan lain yang menggambarkan kehidupan mereka di Pulau Buru yaitu “naik honda” dan “apel sapi.” “Naik honda” menunjukkan gejala malaria berupa demam tinggi hingga tubuhnya menggigil dan kejang seolah-olah terguncang saat menaiki motor Honda yang waktu itu naik daun. Sementara itu, “apel sapi” merujuk kepada dua arti. Pertama, menggambarkan jalan berpagar palang bambu yang harus dilewati para tapol. Kedua, tapol diperlakukan seperti sapi yang berfungsi sebagai tenaga produksi (Irawanto, 2016; Haryati, 2018).
Jika ditilik lebih jauh, penyiksaan yang diterima para tapol sangat beragam bentuknya. Mereka kerap menjadi objek pendisiplinan, intimidasi, bentakan, tendangan, pukulan, tamparan, pengurungan, penyetruman, pengurangan porsi makan, penodongan senjata, dan bahkan pembunuhan. Ahli sejarah, Asvi Warman Adam, memaparkan bahwa pembuangan tapol di Pulau Buru merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat. Menurutnya, ada beberapa bentuk pelanggaran HAM di Pulau Buru. Pertama, pemindahan tapol secara paksa. Kedua, pengisolasian tapol yang merebut hak kebebasan dan kemerdekaan fisik. Ketiga, kerja paksa dan perbudakan. Keempat, kekerasan berupa pengisolasian, penyiksaan, penganiayaan, dan pembunuhan. Kelima, tindakan tidak wajar lainnya seperti hak atas pangan dan fasilitas kesehatan yang dikurangi (Haryati, 2018; Husain, 2019).
20 Desember 1977 menjadi tanggal tahap pertama para tapol dibebaskan. Pada tahap pertama ini terdapat 536 tapol yang sakit. Kemudian tahap kedua dilakukan pada akhir November 1978. Sebelum bebas, mereka harus menandatangani surat pernyataan sumpah. Namun, ada sejumlah tapol yang memilih menetap di Pulau Buru. Terdapat dua alasan para tapol dipulangkan yaitu kemanusiaan dan tidak ada dasar hukum untuk menahan tapol secara terus-menerus. Meski sudah tidak lagi berstatus tahanan, hidup para mantan tapol masih terjerat dalam kesulitan. Bayangan masa lalu seolah terus menghantui, membuat mereka sukar mendapat pekerjaan layak guna menghidupi diri dan keluarga. Hal ini disebabkan kode ET (Eks Tahanan G30S) yang tertulis dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) mereka. Selain itu, kewajiban melapor ke Koramil (Komando Rayon Militer) dan reaksi masyarakat yang belum menerima mereka secara penuh ikut menyulitkan para eks tapol mencari pundi-pundi uang (Husain, 2019). Nyatanya, walau fisik mereka sudah merdeka, tetapi penderitaan masih tersisa.
Sejarah adalah guru kehidupan. Kalimat tersebut terasa tepat untuk mendeskripsikan tragedi G30S dan rangkaian peristiwa yang membuntutinya. Selain sebagai catatan luka bangsa Indonesia, G30S dan peristiwa pembuangan tapol ke Pulau Buru sudah seharusnya menjadi pembelajaran bagi masa kini dan masa depan bahwa pelanggaran HAM tidak boleh terjadi dalam hal sekecil apapun. Bahwa setiap individu berhak atas hak dasar untuk dimanusiakan.
Penulis: Nasywa Taqiyya Maulida
Penyunting: Nur Nilamsari
Referensi
Febiola, A. (2021). Kisah Pulau Buru Tempat Pengasingan Para Tahanan Politik G30S. Diakses pada tanggal 22 September 2024.
Haryati, T. (2018). Tahanan Politik Pulau Buru Maluku (1969-1979). Jurnal Ilmiah IKIP Mataram, 3(2), 685-690.
Husain, S. B. (2019). “Menjemput Kerinduan Keluarga” Penyelesaian dan Pengembalian Tahanan Politik Pulau Buru ke Masyarakat, 1965-1979. Lensa Budaya: Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Budaya, 14(2).
Irawanto, B. Memento dari Pulau ‘Purgatorio’: Membaca Sejarah Narasi Hak Asasi Manusia Melalui ‘Memoar Pulau Buru Karya Hersri Setiawan’. Jurnal Pemikiran Sosiologi, 3(2), 1-8.