Ini adalah sebuah catatan harian (masyarakat) sipil yang menyaksikan langsung ‘mahalnya’ harga yang harus dibayar untuk memperjuangkan demokrasi di negara yang katanya demokratis.
Mengulas kembali ke masa ketika warna biru yang kerap diasosiasikan dengan kesedihan digunakan sebagai simbol perlawanan. Biru perlawanan. Kala itu bahkan belum memasuki bulan September, sebuah bulan yang dibayang-bayangi oleh warna lainnya, hitam kelam. Kala itu masih di penghujung bulan Agustus, namun negara ini di ambang kehancuran. Sepertinya, bulan yang tragis dan dipenuhi oleh jeritan tanpa suara itu telah dimulai seminggu lebih awal tahun ini. Ironis sekali, demokrasi berserakan tidak beraturan. Kala itu, sebuah pesan digaungkan secara serentak, Indonesia darurat. Bukan tentang deklarasi perang dari negara nan jauh di ujung Barat, maupun tanda marabahaya karena hari penghakiman sudah dekat, bukan. Rasanya seperti mendayung perahu di tengah gurun pasir, terdengar mustahil namun nyata adanya.
Ini adalah sebuah catatan harian sipil yang terpaksa mendengar tangis putus asa kakak dari seberang saluran panggilan. Kala itu di penghujung sore, ketika ia mengadu bagaimana gas air mata mengaburkan pandangannya. Kala itu bertepatan dengan jam pulang sekolah. Teman-temanku menghilang, mereka enggan bermain bola denganku lagi. Sudah temanku, jangan pula kakaku. Ironis sekali, masyarakat sipil hanya punya satu sama lain sebagai tameng pelindung.
Ini adalah sebuah catatan harian sipil yang hidupnya berakhir menyedihkan di umur 25 tahun. Ini adalah sebuah catatan harian (masyarakat) sipil yang tidak memiliki siapa-siapa untuk bergantung ketika merantau ke ibu kota, mengais sisa-sisa harapan yang sebenarnya tidak pernah ada. Ironis sekali, ayahku tidak dapat membelikan kursi baru dengan ukiran mewah di kanan-kirinya untukku. Tidak apa-apa, keluarga kecil kami seluruhnya hanya masyarakat sipil. Biasa. Tidak istimewa, apalagi punya kuasa.
Ini adalah sebuah catatan sipil yang selamanya hanya akan menjadi masyarakat sipil, lapisan paling hina dan tidak berdaya dalam sebuah monarki yang menghancurkan dirinya sendiri secara perlahan dari dalam.
Ini adalah sipil.
Bahkan dalam dongeng-dongeng kerajaan yang sering ibu bacakan sebelum tidur, semuanya berakhir bahagia. Oh, aku lupa, itu semua hanya angan yang tidak pernah ada. Siapakah aku ini? Hanya masyarakat sipil.
“Ini.”
Bahkan ketika catatan ini sampai di tangan-tangan para pembaca, aku harap tulisan-tulisan ini cukup untuk disertakan dalam mengurus berkas-berkas lainnya di kantor catatan sipil; KTP, KK dan SIM yang telah difotokopi dua lembar.
“Sudah itu saja.” Yang lainnya, kami tidak punya.
Penulis: IDW