Langkah kaki tak beraturan mulai terdengar saat kami mulai memasuki gedung tua bekas bioskop yang kini disebut Teras Malioboro 1. Gedung tua tiga lantai ini kini dipenuhi oleh para pedagang kaki lima yang direlokasi dari Jalan Malioboro sejak tanggal 1 Februari 2022 lalu. Di kanan kiri, terlihat barang-barang dagangan tersusun rapi dan hampir menyatu antara milik satu pedagang dengan pedagang lainnya.
Menembus keramaian, eskalator yang berada tepat di tengah gedung membawa kami menuju ke lantai dua. Di sana, perhatian kami teralihkan kepada seseorang yang berwajah tenang dengan rokok di sela-sela jarinya. Meskipun sudah berumur, ia tetap terlihat berkharisma dengan gayanya yang mengenakan topi bercorak tentara dan baju berwarna putih bersih. Orang itu merupakan salah seorang pedagang pakaian di lantai tiga Teras Malioboro 1 yang bernama Ilyas. Dulunya, Ilyas merupakan mantan ketua Paguyuban Pemalni (Paguyuban Pedagang Kaki Lima Malioboro Ahmad Yani) yang aktif memperjuangkan hak pedagang kaki lima di Malioboro.
Liku Derita Pedagang Akibat Relokasi
Seakan kedatangan kami telah dinantikan lama, ia menyambut kami dengan penuh semangat. Kami dipersilahkan untuk duduk di kursi yang ia sediakan tepat di depan dagangan jualannya. Tak butuh waktu lama, Ilyas kemudian bercerita tentang permasalahan yang dialami pedagang kaki lima Malioboro. Menurut Ilyas, cerita tentang perubahan pendapatan adalah masalah yang dialami oleh sebagian besar pedagang Teras Malioboro 1. Drastisnya penurunan pendapatan ini menjadi poin pertama yang langsung dikonfirmasi oleh Ilyas. “Sebelumnya, waktu saya masih jualan di Jalan Malioboro, setidaknya masih ada pemasukan yang saya dapat. Tetapi, setelah pindah kemari, omzet yang saya dapat bisa sampai 0 rupiah per hari,” terang Ilyas.
Masih dengan semangat yang menggebu-gebu, Ilyas melanjutkan ceritanya menceritakan tentang bagaimana proses pemindahan para pedagang Malioboro ke Teras 1 dan kejanggalan yang beliau rasakan selama proses itu. “Pemindahan dilakukan secara tergesa-gesa dan terkesan ditutup-tutupi. Sebelum pemindahan, hanya pengurus yang diizinkan untuk mengunjungi lokasi jualan. Ketua Pemalni yang sekarang bersikeras melarang pedagang untuk mencari tahu lebih lanjut lokasi Teras Malioboro 1 ini, juga melarang untuk memprotes karena dikatakan akan berimbas pada pencabutan tempat berjualannya. Nah, ini menambah kecurigaan saya waktu itu,” ujar Ilyas.
Atas kecurigaan itu, Ilyas terdorong untuk turut berjuang melakukan protes bersama dengan teman-teman lesehan, angkringan, dan lainnya ke DPRD Provinsi untuk meminta pemindahan diundur. Namun, keadaan pemerintah yang sudah mencengkeram Pemalni dan Tri Dharma sebagai organisasi besar pedagang Malioboro meruntuhkan perjuangan Ilyas. Beliau menyatakan kekuatan perjuangannya melawan pemerintah tidak lagi signifikan. Terlebih, DPRD menegaskan bahwa Peraturan Daerah (Perda) pemindahan yang mereka buat tidak dapat diganggu gugat. “Di DPRD provinsi itu, kami sudah kalah karena DPRD provinsi menganggap kan Perda-nya sudah mereka yang bikin, maka ni dia cuek, voting pemindahan tempat jualan gak diterima lagi,” kata Ilyas dengan nada putus asa. Perjuangannya pun dinyatakan gagal olehnya sehingga para pedagang harus pulang dengan kekecewaan.
Berbeda dengan Slamet, ketua Pemalni sekarang, saat Ilyas menjabat, beliau dan teman-teman pengurus tidak akan bisa menerima langsung usulan pemerintah. ”Salah satunya usulan oleh DPRD Provinsi karena di sana gudang politik, banyak diisi oleh kepentingan dari pihak-pihak elite,” kata Ilyas. Ilyas mengatakan bahwa dahulu, ia banyak membatalkan kebijakan pemerintah yang dinilai merugikan pedagang, seperti salah satunya adalah pemindahan ke Giwangan. Ilyas dengan mata berkilat menceritakan pula bagaimana mahasiswa dan kampus menjadi salah satu sosok yang selama ini paling mengerti permasalahan pedagang dengan mengkritik atau memprotes pihak terkait apabila ada hal yang berlawanan dengan keadilan dan kesejahteraan para pedagang. “Kalau suara kita (saja) gak ada apa-apanya. Walaupun memiliki ribuan anggota, tapi kami siapa. (Pedagang) kaki lima dari dulu dianggap sampah manusia,” ucap Ilyas.
Tata Kelola dan Tata Letak Pedagang yang Buruk
Saat waktu sudah menunjukan pukul 12.00 WIB, hanya ada satu-dua pelanggan yang berlalu-lalang di lantai tiga, itu pun tidak melewati tempat berjualan Ilyas. Bahkan, jarang dari mereka ada yang melirik sejenak ke tempat berjualan Ilyas. Miris sekali melihat sedikitnya pengunjung yang datang pada hari itu. Keprihatinan kami mulai terfokus ke tata letak pedagang yang ada di sini. Entah apa yang pemerintah pikirkan ketika merencanakan tata letak para pedagang di Teras Malioboro 1 ini. Namun yang jelas, peletakan para pedagang tidak berdampak positif bagi pemasukkan mereka. Sebaliknya, peletakan para pedagang justru masih kurang efektif hingga mempengaruhi penurunan omzet para pedagang.
Menurut Ilyas, pembenahan tata ruang merupakan salah satu cara dalam menanggulangi masalah penurunan omzet yang terjadi. “Kalau mungkin ada (pembenahan) tata ruang itu mungkin ada harapan. Tapi kalau tata ruangnya enggak diubah, yakin aku, orang-orang ini hilang satu-satu. Karena enggak dapat apa-apa lagi ngapain ditungguin di sini,” ujarnya. Pak Ilyas juga menambahkan bahwa pedagang masih harus menanggung resiko untuk mengalami kebangkrutan apabila omzet yang didapat terus mengalami penurunan, belum lagi saat ini masih menjadi masa yang sulit bagi mereka untuk mencari alternatif pekerjaan selain berdagang.
Ilyas berpendapat bahwa pembenahan tata letak kios pedagang ini bisa dilakukan dengan mengalokasikan sesuai barang dagangannya. Misalnya, lantai dua hanya diisi pedagang dengan kerajinan kain dan kerajinan lainnya. Lalu di lantai satu diisi dengan pedagang kain. Hal itu juga turut mempermudah pengunjung dalam mencari barang yang hendak mereka beli. “Lah, ini orang (ada yang berjualan) kain di bawah, ngapain (pengunjung) harus naik lagi kalau udah ada kain (di lantai bawah),” ucap Ilyas mengkritisi buruknya tata letak di Teras Malioboro 1 saat ini. Singkatnya, menurut Ilyas jika sudah terdapat beragam dagangan di lantai 1, maka sedikit pengunjung yang datang ke lantai lainnya. Apalagi pedagang yang berada di tempat kurang strategis seperti Ilyas, jelas tidak tersentuh. Baginya, tata letak pedagang yang belum efektif tidak bisa dibiarkan begini saja.
Ilyas melengkapi ceritanya dengan mengatakan bahwa sempat terdapat negosiasi antara para pejuang rupiah Malioboro dengan penanggung jawab Teras Malioboro. Ia mulai menceritakan kepada kami mengenai hari di mana negosiasi yang telah ditetapkan tiba. Ilyas beserta para pedagang lainnya menunggu kehadiran pihak pengelola. Saking tegangnya suasana saat itu, Ilyas berterus terang bila dirinya gugup. Kala itu, keringat terus menerus menetes menuruni dahinya. Ia ragu, apakah mereka benar-benar datang?
Akhirnya, seseorang dengan setelan rapi datang hendak bertemu para pedagang. Ilyas berbincang dengannya mewakili para pedagang Teras Malioboro. Setelah saling memperkenalkan diri, barulah diketahui bahwa dia adalah seorang dari pengurus Teras Malioboro. Ilyas mulai menampilkan wajah suramnya ketika menceritakan fakta bahwa bukan pihak pengelola yang datang. Namun apa daya, Ilyas berkata dirinya saat itu tetap berusaha agar negosiasi tetap berjalan sebagaimana mestinya.
Dalam negosiasi yang berlangsung tersebut, Ilyas melayangkan dua tuntutan utama, “Saya waktu itu mengajukan dua tuntutan. Yang pertama, pemerintah harus mengganti tata ruang. Kalau pemerintah gak tahu tolong tanya langsung kepada anggota yang ada, gimana bagusnya,” ujar Ilyas. “Terus yang kedua, waktu itu saya memohon agar pemerintah membantu bagaimana caranya dagangan di sini bisa laku walaupun kalau dihitung kembali ke modal awal itu gak mungkin. Mungkin nanti kalau ada bantuan, misalnya untuk mempromosikan barang atau tata ruangnya sudah diperbaiki, insyaallah itu lama-lama bisa normal. Sekarang bisa dibilang masih termasuk baru, tapi tata ruangnya salah.”
Proses negosiasi berlangsung dengan alot. Selepas menyampaikan keluhan dan solusi, Ilyas menanyakan bagaimana posisi pihak pengelola kemudian untuk menindaklanjuti permasalahan ini lewat pihak mengurus. Sayangnya, pihak mengurus merespon bahwa untuk saat ini, permintaan para pedagang belum bisa direalisasikan. Kemudian, Ilyas melanjutkan ceritanya bahwa ada banyak alasan dilontarkan oleh pihak pengelola, seperti tata ruang telah ditentukan sedemikian dari awal serta belum bisa dipastikan bantuan seperti apa yang seharusnya diberikan kepada para pedagang.
Ilyas berkata kepada kami dengan nada jengkel, “Paling malas kalau sama yang bilang gak bisa. Soalnya yang menentukan bukan dia, tapi pengelola. Dia penyambung lidah. Sarannya ditolak, harusnya aspirasi orang disampaikan ke pengelola.” Ada kemarahan besar dari Ilyas yang ditujukan atas ketidakmampuan pihak pengurus menjadi perantara. Keputusan untuk menolak solusi dari para pedagang terlalu tergesa-gesa. Kehadiran pihak pengurus bak formalitas belaka saja.
Kami pun menemui beberapa pedagang lain untuk memastikan keluhan Ilyas, khususnya pedagang lain di gedung bekas bioskop ini. Kami mulai menyusuri kembali pedagang-pedagang Teras 1 dan berpijak di lantai tiga yang menurut beberapa pedagang merupakan lantai ini yang paling sepi di antara yang lain. Bertemulah kami dengan Djarot, mantan apoteker yang sedang menata bakpia dan geplak warna warninya. Kehadiran kami membuat pria paruh baya berkumis putih tersebut terkejut, dikiranya ada pelanggan yang datang amat pagi.
Kami pun duduk dan mulai mengobrol mengenai keluh kesah yang dirasakan Djarot selama berjualan di Teras Malioboro 1. Sambil memandang sayu dagangannya, Djarot mengatakan omzetnya sangat jauh berbeda sebelum pindah. “Dulu di bawah paling minim bisa mencapai 25 dus, tapi saat ini paling banyak 10,” keluh Djarot. Ia lalu menambahkan apabila bakpianya tidak laku, maka tidak dapat dikembalikan ke tengkulaknya. Maka mau tidak mau diberikannya ke peternak babi, mengingat bakpia basah hanya dapat bertahan tiga hingga empat hari. Ditambah lagi letaknya yang berada di lantai tiga, menurutnya para wisatawan malas naik hanya untuk mencari oleh-oleh sedangkan di lantai satu pun juga ada. Keadaan ini cukup berbeda jika dibandingkan saat ia berjualan di lorong. Orang-orang selalu berjalan dari ujung ke ujung lorong untuk melihat-lihat dan berpotensi untuk mampir ke lapaknya.
Djarot pun melanjutkan ceritanya–mengeluhkan lebih tepatnya–mengenai buruknya fasilitas yang ada di Teras Malioboro 1. Keterbatasan ruang dan diperparah adanya sistem gilir satu lapak meja untuk dua pedagang yang menyebabkan omzet para pedagang menurun. Hal ini disinyalir membuat banyaknya pedagang yang dipindahkan tidak seimbang dengan luasnya bangunan. Maka, Djarot pun harus merasakan berjualan setengah hari dengan omzet yang tidak seberapa karena harus bergantian dengan penjual lain. Apabila Djarot berjualan pagi, maka pedagang yang satu meja dengan Djarot akan berjualan sorenya sesuai dengan kesepakatan yang dibuat oleh mereka berdua.
Suara dari Teras Malioboro 2
Setelah bercengkrama dengan kedua pedagang Teras Malioboro 1, kami pun beranjak menuju kantor bekas Dinas Pariwisata DIY yang sekarang beralih menjadi bangunan sederhana yang beralaskan seng dan bersekat, semakin menyulut panasnya di siang kala itu. Para pedagang di sana memiliki keluhan yang hampir sama, yaitu tata letak lapak para pedagang. Keluhan ini utamanya disampaikan oleh pedagang paling belakang sebab Teras Malioboro 2 bagian belakang menghadap Jalan Mataram yang hampir tidak tersentuh alur pengunjung. Hal ini terjadi karena akses masuk pengunjung hanya bisa dari depan saja. Akibatnya, lapak yang di belakang dan pojok pun menjadi minim pembeli. Hal tersebut pun mempengaruhi omzet mereka. “Saya di sini tidak ada 50% nya sama yang di lorong. Itu saya yang di depan sini, apalagi yang di belakang. Ada yang tiga sampai empat hari tidak laku. Memang untuk pendapatan, jauh dari yang lorong dengan yang sini,” kata Trisno, pedagang baju di Teras Malioboro 2.
Keluhan lain yang dirasakan oleh Trisno dan teman-teman pedagang lainnya adalah banjir yang sering terjadi ketika hujan dan panas yang sangat menyengat ketika cuaca terik. Meskipun telah dilakukan perbaikan dengan pelebaran jalan dan perbaikan atap, hal itu tentu tidak cukup menuntaskan masalah. Pasalnya, tingkat ketinggian tanah Jalan Malioboro dan Jalan Mataram dengan Teras Malioboro 2 berbeda. Di samping itu, atap Teras Malioboro 2 juga didesain pendek sehingga di dalamnya akan terasa panas, pengap, dan gelap. Tidak heran jika di siang hari pun beberapa pedagang harus menyalakan lampu dan kipas angin di dalam lapak mereka.
Selain permasalahan yang dirasakan para pedagang, wacana pemindahan Teras Malioboro 2 juga terus beredar. Hal ini membuat para pedagang resah. Sebab, bangunan Teras Malioboro 2 yang saat ini terlihat seperti bangunan sementara jika dibandingkan dengan Teras Malioboro 1 yang gedungnya merupakan bangunan permanen. Selain itu, Teras Malioboro 1 memiliki lapak yang lebih lebih kecil dan pedagangnya lebih banyak. Oleh karenanya, tidak memunginkan apabila pedagang Teras Malioboro 2 dipindah dan bergabung dengan pedagang Teras Malioboro 1. “Harapan kami, ya, kembali ke lorong. Namun, untuk dikembalikan pun sepertinya nihil kemungkinannya karena sudah menjadi tempat pedestrian,” kata Trisno sembari melihat pengunjung yang lalu lalang di depan lapaknya.
Selepas berbincang dengan ketiga pedagang yang telah ditemui, kami memutuskan beranjak dari kawasan Teras Malioboro untuk kembali pulang. Perasaan kami bercampur antara gelisah dan kesal. Pihak pengelola Teras Malioboro lepas tangan dari tanggung jawabnya. Dapat diperhatikan bahwa mereka terlalu apatis untuk mendengarkan keluh kesah pedagang. Pihak pengurus pun juga seharusnya mampu menghimpun kegelisahan pedagang yang kehilangan banyak pembeli. Sudah seharusnya kebijakan pemindahan teras juga memperhatikan kesejahteraan pedagang yang menempati, tidak asal main ubah tempat tanpa memperhatikan tata letak yang nyatanya merugikan. Di bawah terik matahari sore, kami memendam satu tanda tanya: kapankah pemerintah dan pihak pengelola Teras Malioboro mau membuka nuraninya untuk mendengar suara protes para pedagang?
Penulis: Hasna Roliansya, Ni Luh Feby Riveranika, Syadillana Putri Alifia, Salsabilla Azzahra Octavia
Penyunting: Sekarini Wukirasih, Ishlah Abidin Atmaja, Fariz Azhami Ahmad