Rasisme Masih Ada di Tengah Masyarakat yang Masih Menutup Telinga

Beberapa kasus rasisme kembali menggemparkan media tanah air. Kasus ini melibatkan sejumlah tokoh terkemuka, diantaranya adalah Ketua Relawan Pendukung Jokowi-Maruf Amin, Ambroncius Nababan, dan Permadi Arya alias Abu Janda. Kedua tokoh tersebut terang-terangan menghina mantan Komisioner Komnas HAM, Natalius Pigai, dalam cuitannya di media sosial. Hal ini memicu konflik yang berkepanjangan.

Nababan, dalam kasusnya, diduga membuat konten yang dinilai mengandung unsur rasisme karena menyandingkan gambar Pigai dan seekor gorila dalam suatu kolase. Selain itu, Nababan juga membubuhkan kalimat yang berbunyi “Edodoeee pace. Vaksin kao bukan sinovac tapi ko punya sodara bilang vaksin rabies. Sa setuju pace.” pada gambar yang diunggah pada laman Facebook-nya. Kalimat tersebut dinilai berbau SARA sehingga menimbulkan kecaman kuat dari berbagai kalangan di masyarakat, terutama rakyat Papua. Oleh karena itu, Ketua Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Papua Barat, Slus Dowansiba, melaporkannya ke Polda Papua Barat pada Senin, 25 Januari 2021. Kemudian, laporan itu diambil alih oleh Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskim Polri.

Saat penyelidikan, Nababan mengakui bahwa ia yang mengunggah gambar tersebut, tetapi menolak ia telah bertindak rasis. Menyamakan Pigai dengan primata menurutnya merupakan suatu bentuk satire terhadap diri Pigai pribadi karena pendapat kontranya tentang vaksin Sinovac. Nababan mengatakan bahwa ini tidak ada sangkut pautnya dengan suku Papua. Selain itu, ia juga tidak bermaksud untuk menyinggung rakyat Papua.

Di sisi lain, terdapat kasus rasisme yang dilakukan oleh Abu Janda. Dalam unggahannya di twitter pada tanggal 2 Januari 2021, ia menyinggung Pigai dengan kalimat “Kau @NataliusPigai2 Apa kapasitas kau? Sudah selesai evolusi belum kau?”. Satu jam setelahnya, unggahan tersebut dihapus karena memicu komentar-komentar negatif lainnya. Namun, unggahannya telah berhasil didokumentasi oleh sejumlah pihak dan tersebar di berbagai media. Menurut Rischa dalam beritasatu.com, “evolusi” dalam kalimat Abu Janda menjadi sorotan karena banyak masyarakat yang merasa tersinggung dan dianggap menghina bentuk fisik dari Natalius Pigai sekaligus orang Papua secara umum. Oleh karena itu, KNPI juga melaporkan unggahan ini kepada pihak yang berwajib.

Namun, lagi-lagi terdapat penyangkalan oleh pelaku tindak rasisme. Abu Janda mengatakan bahwa kata “evolusi” di sini hanya berarti secara harfiah dan tidak menyinggung fisik Pigai. Abu janda juga menjelaskan bahwa kalimat itu berarti “pikiran lu udah berkembang belum?” Ia juga menegaskan evolusi yang dimaksudnya bukan teori evolusi Darwin karena ia tidak percaya pada teori tersebut. Sampai saat ini, kalimat tersebut masih bernilai ambigu. Selain itu, Abu Janda juga menilai bahwa laporan ini terjadi karena adanya dendam politik. Ia menyimpulkan hal tersebut karena Ketua Umum DPP KNIP, Haris Pertama, merupakan pendukung organisasi yang telah dibubarkan, FPI. Sebagian masyarakat yang mendukung Abu Janda juga menolak dan menggaungkan alasan yang sama dengannya. Oleh karena itu, kasus ini masih menggantung.

Kedua kasus tersebut menunjukkan bahwa rasisme di Indonesia masih menjadi hal yang diabaikan oleh masyarakat. Banyak orang yang berbicara semaunya dan menganggap apa yang ia ucapkan sebagai satire atau lelucon belaka. Namun, ternyata ucapannya mengandung hal-hal yang menyinggung SARA. Setelah itu, munculah penyangkalan-penyangkalan untuk menyatakan bahwa mereka tidak rasis dan menormalkan hal itu. Akankah penyangkalan ini menjadi budaya masyarakat Indonesia untuk mengaburkan tindakan rasisme?

Fakta bahwa masih ada banyak kasus rasisme lain yang ada di Indonesia menunjukkan bahwa semboyan bangsa, Bhinneka Tunggal Ika yang berarti “berbeda-beda tetapi tetap satu” nyatanya belum dapat dimaknai dan dipraktikkan oleh sebagian masyarakat Indonesia. Di antara banyaknya kasus yang ada, masyarakat Papua menjadi salah satu kelompok masyarakat yang kerap mengalami tindak rasisme. Bentuk rasisme yang dialami masyarakat Papua misalnya hinaan terhadap ciri fisik hingga diasosiasikan dengan monyet.

Sayangnya, masalah rasisme di Indonesia justru menjadi topik yang enggan dibicarakan banyak orang. Hal ini telah berlangsung sejak lama. Pada era Orde Baru, SARA dianggap sebagai sumber konflik yang dapat mengganggu stabilitas politik. Muncul pandangan bahwa SARA merupakan pemicu konflik-konflik sosial. Akhirnya, SARA menjadi isu yang sensitif dan tabu untuk dibicarakan. Pembicaraan mengenai SARA dihindari demi keharmonisan meskipun hal tersebut justru dapat melanggengkan rasisme di masyarakat.

Sebuah survei yang dilakukan oleh Komnas HAM dan Litbang Kompas menunjukkan pola pikir rasis masih langgeng di masyarakat. Dalam survei tersebut, sebanyak 81,9 persen responden merasa lebih nyaman hidup dalam keturunan keluarga yang sama. Terdapat 82,7 persen responden yang merasa lebih nyaman hidup dalam lingkungan ras yang sama. Selain itu, terdapat 83,1 persen responden yang merasa hidup lebih nyaman dengan kelompok etnis yang sama. Hasil survei ini menunjukkan bahwa potensi tindakan diskriminasi ras dan etnis di Indonesia memiliki probabilitas yang besar.

Survei Komnas HAM dan Litbang Kompas ini juga menunjukkan sensitivitas ras dan etnis di Indonesia. Lebih banyak responden yang mengasosiasikan frasa diskriminasi ras dan etnis dengan kata-kata negatif seperti arogan, benci, dan buruk, yaitu sebanyak 14,7 persen. Hanya 3,1 persen responden yang mengasosiasikan frasa tersebut dengan kata-kata positif seperti harus dicegah, keadilan, dan saling menghormati. Selain sensitivitas, survei ini juga menunjukkan bagaimana respons masyarakat saat menyaksikan diskriminasi. Lebih dari separuh responden memilih untuk tidak merespons langsung saat melihat diskriminasi ras dan etnis. Sebanyak 35 persen responden memilih untuk tidak langsung menegur pelaku, tetapi akan melaporkan kejadian tersebut ke pihak yang berwenang. Kemudian terdapat 26 persen responden yang hanya akan bersimpati saja saat menyaksikan perlakuan diskriminasi. Dari hasil survei tersebut dapat dilihat bahwa kesadaran masyarakat terhadap masalah rasisme di Indonesia masih rendah.

Masyarakat Indonesia harus sadar bahwa sebagian dari mereka masih memiliki pola pikir yang rasis. Semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” tidak lagi bermakna jika pola pikir rasis masih dipelihara. Tentunya pola pikir dan sikap anti-rasisme tidak dapat muncul lewat proses yang instan. Namun, semuanya dapat dimulai dengan membiasakan obrolan ringan dan sederhana tentang isu rasisme. Isu rasisme tidak dapat dilihat lagi sebagai sesuatu yang tabu untuk dibicarakan. Obrolan tentang rasisme baik di lingkungan pertemanan maupun di ruang publik dapat menyadarkan masyarakat bahwa rasisme merupakan sesuatu yang nyata dan menjadi penyakit yang harus dihilangkan. Dengan demikian, masyarakat dapat menciptakan lingkungan yang ramah bagi segala etnis yang ada di Indonesia.

Daftar Pustaka

Amali, Z. (2021, Januari 26). Rasisnya Kader Hanura Ambroncius karena Pigai Tolak Vaksin Sinovac? Tirto.id. Dapat diakses di https://tirto.id/rasisnya-kader-hanura-ambroncius-karena-pigai-tolak-vaksin-sinovac-f9A7.

Arnaz, F. (2021, Januari 28). Cuitan Rasis Diduga dari Abu Janda terhadap Pigai Diproses Polisi. Beritasatu.com. Dapat diakses di https://www.beritasatu.com/nasional/725117/cuitan-rasis-diduga-dari-abu-janda-terhadap-pigai-diproses-polisi

Belau, A. (2020, Mei 14). Orang Indonesia Gampang Asosiasikan Orang Papua dengan Monyet. Suarapapua.com. Dapat diakses di https://suarapapua.com/2020/05/14/orang-indonesia-gampang-asosiasikan-orang-papua-dengan-monyet/

Bhaskara, I.L.A. (2018, November 21). Survei Komnas HAM: Diskriminasi Etnis & Ras Masih Terus Ditolerir. Tirto.id. Dapat diakses di https://tirto.id/survei-komnas-ham-diskriminasi-etnis-ras-masih-terus-ditolerir-dahP

Hadayani, H.W., Teresa, S., & Ginting, T.F. (2020, Juli 3). Jebakan SARA dalam Praktik Rasisme terhadap Warga Papua. Dapat diakses di https://theconversation.com/jebakan-sara-dalam-praktik-rasisme-terhadap-warga-papua-141302

Halim, D. (2021, Januari 26). Kasus Dugaan Rasialisme terhadap Natalius Pigai, Ambroncius Nababan Jadi Tersangka. Kompas.com. Dapat diakses di https://nasional.kompas.com/read/2021/01/26/19344371/kasus-dugaan-rasialisme-terhadap-natalius-pigai-ambroncius-nababan-jadi

Lesmana, A.S. (2021, Januari 29). Bantah Kata Evolusi Hina Pigai, Abu Janda: Akhlak Lu Udah Berkembang Belum? Suara.com. Dapat diakses di https://www.suara.com/news/2021/01/29/184524/bantah-kata-evolusi-hina-pigai-abu-janda-akhlak-lu-udah-berkembang-belum?page=2

Ruqoyah, S. (2021, Januari 25). Ambroncius Nababan Dilaporkan ke Polisi karena Hina Pigai-Gorila. Viva.co.id. Dapat diakses di https://www.viva.co.id/berita/nasional/1342723-ambroncius-nababan-dilaporkan-ke-polisi-karena-hina-pigai-gorila

guest
0 Komentar
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments