Ikhtisar Perjuangan Warga dalam Mempertahankan Bumi Wadas

Menyorot Aksi Represif Aparat

Katanya, Indonesia merupakan negara hukum yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi.  Klaim ini didukung oleh keberadaan Undang-Undang (UU) Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Secara sederhana, UU tersebut memberikan jaminan pada masyarakat untuk mengemukakan pendapatnya. Namun, tampaknya fakta di lapangan tidak semulus peraturan yang telah diundangkan. Bahkan, tidak sedikit konflik ataupun tindakan represif pemerintah yang ditujukan pada rakyat yang menyuarakan keresahannya. Salah satu konflik yang sedang hangat dibicarakan adalah bentrok aparat dengan Warga Wadas terkait penolakan warga terhadap Proyek Strategi Nasional (PSN) Bendungan Bener di Desa Wadas, Purworejo, Jawa Tengah.

Dilansir oleh AyoYogya, konflik di Desa Wadas bermula dari kedatangan para aparat pada hari Jumat, 23 April 2021 pukul 11.00 WIB. Kedatangan ini bertujuan untuk menyosialisasikan pemasangan patok Penambangan Quarry untuk kebutuhan material pembangunan PSN Bendungan Bener. Menurut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Penambangan Quarry ini merupakan pengerukan tanpa sisa yang direncanakan berjalan selama 30 bulan dengan cara dibor, dikeruk, dan diledakkan. Lebih lanjut, dilansir oleh CNN Indonesia (23-04), Yogi Zul Fadhli, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, mengatakan bahwa kedatangan aparat ke desa menggunakan beberapa mobil dan dilengkapi persenjataan. Sebelumnya, para warga, aktivis, dan beberapa orang dari LBH telah melakukan aksi blokade jalan menggunakan batang pohon untuk menghalang kedatangan para aparat. Penghadangan ini dilakukan karena Warga Wadas menolak PSN yang dilakukan oleh pemerintah di Desa Wadas. Namun, aparat tetap memaksa masuk dengan menggergaji batang pohon.

Pemaksaan ini diiringi dengan berbagai bentuk kekerasan, seperti menarik, mendorong, hingga memukul warga, termasuk ibu-ibu. Perlakuan tersebut menyulut kemarahan warga sehingga sekitar pukul 11.30 WIB kericuhan di antara kedua belah pihak tidak terbendung lagi. Beberapa warga dan mahasiswa yang bersolidaritas pun ditangkap paksa oleh aparat.  Bahkan, aparat juga sempat menyemprotkan gas air mata untuk memukul mundur para warga. Kemudian, pada pukul 11.47 WIB, kuasa hukum warga dari LBH yang bernama Julian ditarik paksa dan dibawa menggunakan cara kekerasan. Namun, Yogi tidak dapat memastikan ke mana warga dan para aktivis dibawa oleh aparat kepolisian. Ia masih mengupayakan agar dapat bertemu dengan warga yang ditangkap. Berdasarkan pemberitaan TEMPO (24-04), dilaporkan bahwa sebanyak 9 warga luka-luka dan 11 orang mahasiswa, warga, serta kuasa hukum warga ditangkap oleh polisi dengan tuduhan provokator aksi massa. 

Ragam Kecaman dari Berbagai Pihak

Peristiwa geger geden di Desa Wadas, Purworejo  tersebut menuai beragam respons dari beberapa pihak mulai dari organisasi lingkungan, organisasi keagamaan, hingga Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM). Dalam keterangan tertulis kepada detik.com, perwakilan BEM Seluruh Indonesia (SI), Nofrian Fadil Akbar, menyatakan bahwa BEM SI menuntut pemerintah untuk lebih mengutamakan keselamatan rakyat dan kelestarian lingkungan dalam melaksanakan PSN. Bahkan, BEM SI mendesak Kapolri untuk mencopot Kapolda Jawa Tengah atas tindakan represif dan penangkapan sewenang-wenang di Desa Wadas.

Sementara itu, salah satu organisasi lingkungan yang mengecam serius sikap represif aparat adalah Walhi. Dilansir dalam laman resmi, Walhi menegaskan bahwa pembangunan yang mengabaikan ruang hidup warga, konsistensi tata ruang, dan menggunakan tindak kekerasan terhadap warga sangat bertolak belakang dengan prinsip Walhi yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi dan Hak Asasi Manusia. Salah satu poin tuntutan Walhi adalah menekan Kapolres Purworejo dan segala pihak yang terlibat untuk bertanggung jawab atas peristiwa bentrok antara aparat dan warga di Desa Wadas.

Bentuk kecaman juga diutarakan oleh Komite Nasional Front Nahdiyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA) dan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Yogyakarta. Dimuat dalam situs web resmi, Komite Nasional FNKSDA mengutuk tindakan represif aparat dan mengajak seluruh elemen sipil untuk bersolidaritas kepada Warga Wadas. Pernyataan senada juga dapat ditemukan dalam surat resmi IMM Yogyakarta. Dalam surat tersebut, IMM Yogyakarta mendesak aparat dan pihak terkait untuk mengedepankan kepentingan dan kebutuhan rakyat bukan justru bersikap represif. Selain kesamaan dalam mengecam tindak represif para aparat, semua organisasi juga sama-sama menuntut aparat untuk membebaskan warga dan pendamping hukum yang ditangkap semena-mena.  

Kondisi Terkini Pasca-Bentrok

Dilansir oleh CNN Indonesia (24-04), setelah adanya pemeriksaan terkait pemblokiran jalan yang dilakukan oleh warga dan terbitnya berbagai kecaman dari beragam lembaga, pada hari Sabtu 24 April 2021 sekitar pukul 02.00 WIB, pihak kepolisian membebaskan warga yang ditangkap saat bentrok berlangsung. Lebih lanjut, diberitakan oleh Suara Indonesia (24-04), polisi mengatakan bahwa warga yang diamankan adalah terduga provokator aksi. Setelah pemeriksaan terhadap terduga dinilai cukup, pihak kepolisian membebaskannya. Namun, orang-orang yang bukan warga Purworejo masih terus dipantau terkait keterlibatannya dalam aksi pemblokiran jalan. Sementara itu, akses jalan yang diblokade oleh warga sudah dibebaskan dan dapat digunakan kembali untuk akses keluar masuk desa.  Kemudian, dilaporkan oleh Kompas (25-04), Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polisi Daerah Jawa Tengah Iskandar mengklaim bahwa situasi pasca-insiden saat ini sudah cukup kondusif dan masyarakat sudah dapat melaksanakan kegiatan dengan nyaman. Meskipun demikian, penolakan dan perjuangan Warga Wadas tidak berhenti begitu saja. Aksi represif pemerintah juga tidak dapat dibenarkan dan dibiarkan. Oleh karena itu, bagian berikutnya akan menyelisik rekam jejak perjuangan Warga Wadas dari awal penolakan hingga aksi terkini.

Kilas Balik Perlawanan Warga Wadas

Lantas, apa yang sebenarnya terjadi di Desa Wadas? Berdasarkan unggahan pada akun Instagram @wadas_melawan, sejatinya Warga Wadas telah mengetahui rencana pembangunan Bendungan Bener sejak 2013. Kemudian pada hari Selasa, 13 Oktober 2015, perusahaan swasta melakukan dua pengeboran di Desa Wadas sedalam 75 meter dan 50 meter. Pengeboran ini bertujuan untuk mengambil sampel tanah dan melakukan uji material yang dilakukan di Balai Besar Wilayah Sungai Serayu-Opak (BBWS-SO).  Permasalahan berlanjut pada 4 September 2017 ketika BBWS-SO memasang spanduk tentang permohonan izin lingkungan di berbagai desa yang terdampak pembangunan Bendungan Bener. Namun, spanduk ini tidak dipasang di Desa Wadas dan tidak mencantumkan nama Wadas sebagai desa yang terdampak. Padahal, nama Wadas tercantum jelas dalam dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) milik perusahaan.

Setelah itu, pada 8 Maret 2018, ternyata pemerintah tetap memberikan izin lingkungan kepada perusahaan dan tiba-tiba nama Desa Wadas dicantumkan sebagai salah satu desa yang terdampak. Lebih lagi, nama Wadas dimasukkan sebagai lokasi pembebasan lahan (alih kepemilikan) untuk keperluan pembangunan tanpa meminta persetujuan dari Warga Wadas. Akibatnya, Warga Wadas membentuk paguyuban bernama Gerakan Masyarakat Peduli Alam Desa Wadas (Gempa Dewa). Pada 27 Maret 2018, BBWS-SO melakukan sosialisasi terkait pengadaan tanah di Balai Desa Wadas. Akan tetapi, masyarakat Desa Wadas menolak Penambangan Quarry dan melakukan aksi walk out. Tidak putus akal, pada 6 April 2018, pihak BBWS-SO mengadakan mediasi dengan seluruh masyarakat Desa Wadas yang menolak penambangan. Sayangnya, melalui surat tertulis, warga menyampaikan bahwa seluruh masyarakat Wadas menolak Penambangan Quarry di Desa Wadas tanpa syarat.

Kendati demikian, tampaknya penolakan dari Warga Wadas kurang diindahkan oleh pemerintah. Pada kenyataannya, pada 7 Juni 2018, pemerintah tetap menerbitkan Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 590/41 Tahun 2018 tentang Persetujuan Penetapan Lokasi Pengadaan Tanah untuk Pembangunan Bendungan Bener di Kabupaten Purworejo dan Kabupaten Wonosobo. Merasa penolakannya diabaikan oleh pemerintah, Warga Wadas terus berjuang tanpa henti untuk mempertahankan kelestarian bumi Wadas. Misalnya, aksi demonstrasi Warga Wadas pada 10 Januari 2019 di depan Kantor Bupati Purworejo terkait penolakan eksploitasi tanah di Wadas. Bahkan, Warga Wadas pernah melaporkan Gubernur Jawa Tengah, BBWS-SO, dan PT. Pembangunan Perumahan selaku pemenang paket tiga terkait penambangan kepada Ombudsman mengenai dugaan maladministrasi. Sementara itu, berdasarkan pantauan penulis, akun Instagram @wadas_melawan juga telah digunakan secara aktif untuk menyuarakan beragam permasalahan di Wadas sejak 27 April 2018 hingga kini.

Penolakan dan Dukungan Warga Wadas dalam Proyek Penambangan Bendungan Bener 

Sebelum adanya peristiwa bentrokan (23-04) antara aparat dan Warga Wadas, masyarakat Desa Wadas yang tergabung dalam kelompok Masyarakat Terdampak Desa Wadas (Mata Dewa) menunjukkan keberpihakannya terhadap penambangan untuk pembangunan Bendungan Bener sebagaimana yang dilansir oleh koranbernas.id (21-04). Dalam berita tersebut, Sabar selaku Koordinator Lapangan Mata Dewa mengklaim bahwa 400 lebih pemilik bidang tanah telah menyetujui penambangan di Desa Wadas. Hal ini dibuktikan dari adanya pengumpulan fotokopi Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT), Pajak Bumi Bangunan, dan Kartu Tanda Penduduk warga yang pro penambangan oleh Mata Dewa. Selain Sabar, diberitakan oleh Suara Indonesia (25-04), Panut juga menunjukkan keberpihakannya lantaran pembangunan dan penambangan tersebut sudah menjadi program negara

Lebih lanjut, mengutip pernyataan Panut dari sumber yang sama, ia diancam oleh adik kandungnya karena mendukung proyek penambangan sampai mau dibunuh. Alhasil, dia merasa terpojokkan oleh keluarganya. Selain itu, warga desa yang pro penambangan juga mengalami pengusiran dari warga yang kontra. Hal ini diungkapkan oleh Wagimin selaku salah satu petani di Desa Wadas. Dalam pengakuannya, di kanal berita yang sama, Wagimin mengatakan bahwa ia disuruh pindah alias diusir dari Desa Wadas jika mendukung Penambangan Quarry di Desa Wadas.  Keresahan-keresahan ini semakin bertambah ketika Gempa Dewa –masyarakat kontra– mulai memasuki desa dan memblokade jalan. Oleh sebab itu, para warga yang pro melaporkan kejadian tersebut kepada pihak berwajib. 

Meskipun demikian, penolakan-penolakan dari masyarakat yang kontra bukanlah argumen tanpa dasar. Perlawanan yang teguh dari Warga Wadas yang kontra penambangan memiliki beberapa alasan. Dalam cuitannya, Walhi menjelaskan bahwa penambangan batuan andesit di Desa Wadas menargetkan 15,53 juta material batuan untuk pembangunan Bendungan Bener yang berkapasitas 400.000 meter kubik setiap bulannya. Penambangan yang besar ini tentunya cukup meresahkan warga. Diberitakan oleh Liputan 6, Warga Wadas menolak penambangan karena membahayakan 27 sumber mata air di Desa Wadas sehingga berpotensi merusak lahan pertanian warga. Dilansir oleh Kompas, Julian selaku kuasa hukum warga menyatakan bahwa warga menolak penambangan karena menurut mereka alam telah memenuhi segala kebutuhan dan warga tidak mencari ganti rugi lagi.

Sementara itu, menurut Walhi, terdapat tiga alasan Warga Wadas menolak penambangan. Pertama, Warga Wadas tidak sudi menjual tanah yang telah menjadi sumber utama mata pencaharian mereka. Selama ini, warga memanfaatkan tanah di Wadas untuk keperluan cocok tanam secara turun-temurun. Kegiatan pertanian tersebut juga telah membantu menyejahterakan warga sekaligus menjaga kelestarian alam. Kedua, warga tidak sudi untuk hidup berdampingan dengan alam yang rusak, yaitu alam yang tidak memiliki sumber mata air dan tanaman yang tidak bisa tumbuh. Ketiga, proses penambangan dinilai cacat prosedural, tidak melalui sosialisasi yang tepat, dan tidak memenuhi proses kajian lingkungan. Terkait anggapan adanya cacat prosedural, hal serupa juga dituliskan oleh Mongabay. Dalam web Mongabay, Yogi menyatakan telah mengirim surat ke Ombudsman terkait penerbitan Izin Penetapan Lokasi (IPL) oleh gubernur yang diduga cacat hukum. Selain itu, Mongabay menuliskan bahwa apabila melihat UU Pengadaan tanah, maka pertambangan tidak termasuk dalam kategori proyek untuk kepentingan umum sehingga penggunaan hukum harus disertai AMDAL, izin lingkungan, dan Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang jelas. Perlu dipahami lebih dalam bahwa pelibatan warga dalam pemberian izin pertambangan sangatlah penting. Dalam laporan utama Balairung tentang isu tambang pasir Kali Progo, Agung Wardhana selaku Dosen Hukum Lingkungan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada menyampaikan bahwa partisipasi warga dalam pertambangan menjadi perkara yang urgen. Hal ini dikarenakan warga menjadi pihak yang terdampak langsung. Agung menegaskan bahwa partisipasi warga dalam kasus pertambangan harus dilakukan secara menyeluruh tanpa mengabaikan pendapat pihak-pihak tertentu. Karena menurutnya, persetujuan dari segelintir warga tidak dapat dijadikan legitimasi atas persetujuan pelaksanaan penambangan.

Penulis: Achmad Hanif Imaduddin & Najzeela Tayyima Elhikma

Penyunting: R. Rr. Jessenia Destarini A.

guest
0 Komentar
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments