Dalam rangka memperingati Hari Perempuan Internasional, Departemen Sosiologi Universitas Gadjah Mada berkolaborasi dengan Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Pengendalian Penduduk Daerah Istimewa Yogyakarta (DP3AP2 DIY) mengadakan diskusi bertema “Suara Tersembunyi: Jejak Kisah Perempuan Inspiratif Menuju Inklusi” pada hari Rabu (06/3) bertempat di Selasar Barat, Fisipol UGM. Diskusi ini menghadirkan Aulia Rahma Kurnia (mahasiswa difabel netra), Desintha Dwi (dosen Sosiologi), Sulya Kumala (dinas DP3AP2 DIY Bidang Kualitas Hidup Perempuan), dan Kalis Mardiasih (penulis dan aktivis gender).
Diskusi diawali dengan cerita Aulia tentang pengalaman diskriminatif yang diterimanya sebagai difabel netra. Di ranah pribadi misalnya, Ia sering menerima pendapat jika perempuan difabel akan sulit mendapatkan pasangan normal. Selain itu, jika perempuan difabel melahirkan anak difabel, maka itu merupakan kesalahan sang ibu karena menjadi penyandang difabel. Belum lagi ketika lingkungan sosial memandang sebelah mata dirinya. Ketika ia mengutarakan ingin melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, khususnya di UGM, alih-alih diberikan dukungan dan apresiasi atas impiannya, Aulia malah disarankan untuk mendaftar ke perguruan tinggi lain. “Saya bertutur keinginan untuk kuliah di UGM itu rasanya saya diremehkan. ‘Coba kamu mendaftar di tempat yang lain dulu,’ misalnya. Rasanya sedih sih memang,” curhat Aulia.
Melanjutkan curhatan dari Aulia, Deshinta membicarakan tema diskusi lebih dalam terkait suara perempuan yang kerap diabaikan. Pengabaian suara perempuan terlihat dari pemerintah yang membuat segenap kebijakan tanpa melibatkan suara perempuan. Oleh karena itu, mengakibatkan banyak kebijakan tidak sensitif gender. Perempuan seolah-olah tidak mempunyai kedudukan yang sama dengan laki-laki. Deshinta mengutarakan lebih lanjut bahwa suara perempuan sangat penting karena perempuan sendiri mempunyai pengalaman yang tidak dialami oleh laki-laki, misalnya menstruasi. Dari pengalaman menstruasi saja perempuan sudah mendapatkan standar ganda. “Kemarin saya cerita di kelas, khitanan telah dianggap sebagai tahap penting untuk menegaskan kedewasaan laki-laki. Sebaliknya, menstruasi perempuan masih dianggap sebagai sesuatu yang memalukan dalam beberapa budaya, sehingga masyarakat cenderung untuk menyembunyikan,” tutur Deshinta.
Mala melanjutkan diskusi dengan menjelaskan bahwa IDG atau Indeks Pemberdayaan Gender di DIY masih berada di bawah rata-rata nasional. Salah satu penyebabnya adalah terkait dengan kuota perempuan di tingkat pengambilan keputusan. Ia memaparkan jika masih banyak ketidakadilan atau ketimpangan gender dan akses terhadap perempuan maupun kelompok rentan lainnya. Dalam pemerintahan sendiri isu gender masih dinilai sebagai isu yang dianggap tidak penting sehingga prioritas akan isu ini tidak berada di atas. “Padahal, kalau kita bicara soal kebijakan, kebijakan itu untuk manusia, manusia ada laki-laki dan perempuan yang kebutuhannya tidak bisa disamakan juga,” ujar Mala menanggapi pandangan pemerintah terkait isu tersebut.
Inspire Inclusion menjadi tema yang diangkat dalam Hari Perempuan Sedunia tahun ini. “Sebenarnya kalau mau kita coba telaah gitu ya, kenapa temanya Inspire Inclusion, kalau dari saya sih berpikir bahwa kita semua bisa menginspirasi banyak orang dimulai dari kita sendiri,” tutur Mala menjelaskan makna tema yang diangkat tahun ini. Melalui tema ini, masyarakat diharapkan dapat menjadi inspirasi yang dimulai dari diri sendiri dan memunculkan aksi bersama untuk membongkar ketimpangan gender yang sudah terlanjur diinternalisasi di sebagian masyarakat. Salah satu bibit eksklusi adalah mengeneralisir perbedaan kebutuhan gender kemudian tidak merespons kebutuhan tersebut.
Kalis juga bercerita tentang pengalamannya. Awalnya, ia terganggu akan konten dari beberapa tokoh agama ekstrimis yang banyak memaparkan larangan tidak masuk akal terhadap perempuan, seperti larangan bekerja pada sektor publik, berdandan, hingga penyuaraan kekerasan terhadap perempuan. Padahal beberapa kelompok Islam berpandangan bahwa perempuan juga bisa menjadi ulama dan pemimpin karena profesi tersebut bukan berbasis gender, tetapi kemampuan. Ia belajar kepada tokoh feminis muslim dunia untuk membaca produk hukum Islam dengan tafsir yang tidak mendiskriminasi perempuan dan tidak memberikan kekerasan terhadap perempuan. Setelah itu, Kalis menjadi tim advokasi dalam perjuangan pengesahan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang sekarang dikenal dengan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual.
Setelah mendengar paparan pengalaman keempat pembicara, moderator mengharapkan semakin banyak masyarakat yang dapat menginspirasi orang lain untuk memperjuangkan isu tentang perempuan dan kelompok rentan. Tema Hari Perempuan Internasional tahun ini, yaitu Inspire Inclusion, diharapkan menjadi inspirasi agar memahami dan menghargai inklusi perempuan. Bukan hanya perempuan yang harus memperjuangkan isu tersebut tetapi seluruh masyarakat. Dimulai dengan tindakan kecil dari diri sendiri untuk mewujudkan suatu keadaan yang inklusi.
Penulis: Anastasya Niken Pratiwi & Desti Nicawati
Editor: Devira Khumaira