Rapor Merah 10 Tahun Rezim Jokowi Berkuasa

Pada Rabu (04/09), Keluarga Mahasiswa Manajemen dan Kebijakan Publik (GAMAPI) berkolaborasi dengan Korps Mahasiswa Politik dan Pemerintahan (KOMAP) untuk mengadakan diskusi publik bertajuk “Dialogium: 10 Tahun Rasa Jokowi, Closingan Sang Pakde”. Diskusi ini menghadirkan tiga narasumber, yaitu Alfath Bagus Panuntun, Dosen Departemen Politik dan Pemerintahan; Media Wahyudi Askar, Dosen Departemen Manajemen Kebijakan Publik; dan Aiken Gymnastiar, mahasiswa DPP. Acara yang digelar di Taman Sansiro Fisipol UGM ini merupakan tanggapan atas kinerja Jokowi selama 10 tahun melakukan pengikisan demokrasi di Indonesia. 

Memulai jalannya diskusi, Alfath mengutip tulisan Vedi Hadiz dan Robinson yang membahas bahwa pemusatan kekuasaan  oligarki hari ini merupakan warisan dari struktur kekuasaan Orde Baru. Misalnya, kata Alfath, ketakutan untuk berpendapat dan kenyataan bahwa satu persen orang terkaya Indonesia menguasai separuh aset nasional adalah contoh dari warisan Orde Baru yang masih dirasakan. “Ketika kita bicara tentang oligarki, maka kelompok-kelompok elite ini yang banyak menentukan hajat hidup kita,” ujarnya.

Alfath menambahkan perihal perilaku oligarki yang hanya formalitas dalam menyusun kebijakan. Menurutnya, hal tersebut tidak pernah benar-benar menyelesaikan persoalan struktural sebab dikelola oleh segelintir orang. Karenanya, Alfath mengatakan perlunya medium bagi orang-orang kredibel dalam mekanisme politik yang sudah dibegal oleh kepentingan keluarga. “Politik kita tidak boleh lagi dibegal sama mereka-mereka ini,” imbuhnya.

Sejalan dengan itu, Media mengutip istilah dalam budaya Minangkabau, yakni tungku tigo sajarangan atau tiga pilar utama dalam mengatur pemerintahan: pangulu (pemimpin), alim ulama (tokoh agama), dan cerdik pandai (kaum intelektual). Ketiga pilar yang dipercaya dapat menjaga keseimbangan masyarakat ternyata praktiknya tidak dengan demikian. “Kita melihat institusi keagamaan hari ini sudah rusak parah. Muhammadiyah yang logonya matahari seharusnya menyinari bumi, tetapi sekarang justru berpotensi merusak bumi kita,” ujarnya.

Pada hasil survei kepuasan kinerja Jokowi, Media memberi kritik keras. Media mengungkapkan bahwa 76% masyarakat Indonesia setuju terhadap kinerja pemerintahan Jokowi. Menurutnya, metodologi survei kinerja ini bias karena hanya ditanyakan kepada masyarakat yang tidak tahu bagaimana pemerintahan ini dijalankan. Jika harus adil, survei tersebut semestinya dilakukan oleh pihak yang kredibel dan paham akan pemerintahan seperti lembaga eksternal. “Terus terang hari ini saya punya pesimisme yang luar biasa, mengalahkan optimisme saya terhadap bangsa ini ke depan,” terang Media.

Merespons perolehan tingginya angka kepuasan tersebut, Aiken turut membagikan pengalamannya sebagai masyarakat yang terdampak salah satu kebijakan Jokowi, yakni UU Cipta Kerja. Saat bekerja di salah satu bioskop, Aiken mengalami ketidakadilan akibat kurangnya pekerja yang memaksanya bekerja ekstra tanpa kesetaraan upah dan waktu istirahat. Kekurangan pekerja ini berangkat dari kehadiran pihak ketiga yang mempekerjakan Aiken di bioskop. Saat ingin mencoba protes mengenai kondisi kerjanya, Aiken harus melakukannya lewat pihak ketiga dan protes ini bisa saja berhenti di pinggir jalan karena belum tentu akan disampaikan oleh pihak ketiga ke bioskop tempat Aiken bekerja. 

Menanggapi pengalaman tidak menyenangkan Aiken, Alfath mengambil contoh UU perampasan aset dan pelanggaran HAM yang baginya tidak pernah terealisasi. Di titik ini, Alfath menyadarkan mahasiswa untuk memahami peran penting sebagai kelompok penekan yang berpihak pada rakyat. “Jangan sampai bobroknya rezim Jokowi membuat masyarakat kehilangan kompas moralnya dan merugikan masyarakat luas,” tegas Alfath.

Di kesempatan yang sama, Media menyayangkan karakter masyarakat yang permisif dan hal ini yang kemudian sering menjadi masalah. Media memaparkan, ketika pemerintah merasa tidak ada masalah dengan pelanggaran yang mereka lakukan dan tidak adanya tekanan publik, maka pemerintah tanpa malu akan melakukan pelanggaran terus-menerus. “Sebetulnya masyarakat bukannya tidak mau mengkritik, tetapi mereka sudah lelah dengan kehidupan sehari-hari. Akhirnya, banyak masyarakat dari negara maju yang paling pertama berteriak itu adalah kaum terdidik,” ujarnya.

Di akhir diskusi, Alfath dan Media memberikan dukungan positif kepada mahasiswa. Alfath mengimbau mahasiswa untuk tidak memandang politik sebagai sesuatu yang dihindari. Politik harus dilihat sebagai kendaraan untuk mengubah kondisi masyarakat luas. Sementara Media justru mengimbau mahasiswa untuk memanfaatkan digitalisasi. “Saya yakin kuncinya satu. Internet makin berkembang, teknologi digital pun makin maju, termasuk kedewasaan berpolitik yang saya kira semakin baik dalam beberapa waktu ke depan. Apa yang bisa dilakukan mahasiswa? Ya edukasi masyarakat. Apalagi, jumlah mahasiswa itu banyak. Jangan hanya sebagai pengikut, tetapi jadilah influencer yang kemudian bisa mempengaruhi masyarakat,” ujar Media.

Penulis: Siti Nurrobani, Getsamane Eleazar Arapenta Sitepu (Magang)
Editor: Ananda Naufal Waliyyuddin 

guest
0 Komentar
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments