Pandemi COVID-19 yang melanda Indonesia sejak bulan Maret 2020 berdampak pada kegiatan perkuliahan di Universitas Gadjah Mada (UGM). Salah satunya, perubahan sistem kuliah dari luring ke daring, seiring terus naiknya angka kasus positif COVID-19. Situasi COVID-19 yang dirasa tidak kunjung membaik direspons UGM melalui pembentukan Satuan Tugas (Satgas) Penanggulangan COVID-19. Satgas ini merupakan gugus tugas percepatan penanganan Coronavirus Disease-2019 (COVID-19) yang berstatus sebagai lembaga ad-hoc di bawah Wakil Rektor Bidang Sumber Daya Manusia dan Aset.
Satgas yang dibentuk tahun 2020 melalui penetapan Surat Keputusan Rektor UGM Nomor 486/UN1.P/KPT/HUKOR/2020 tentang Satuan Tugas Penanggulangan Coronavirus Disease-2019 (COVID-19) Universitas Gadjah Mada ini bertugas mengkoordinasi berbagai kegiatan pencegahan dan penanggulangan COVID-19 di lingkungan kampus. Kegiatan tersebut ditargetkan terlaksana dengan cepat, tepat, fokus, dan terpadu dengan tujuan meminimalisir penyebaran COVID-19 di unit kerja dan menciptakan penanganan strategis bagi civitas akademika UGM yang terkonfirmasi positif. Hal ini berpengaruh pada keanggotaan Satgas COVID-19 UGM yang kemudian melibatkan unsur internal dan eksternal UGM.
Unsur internal dalam hal ini adalah anggota yang berasal dari internal UGM, seperti mahasiswa/alumni yang direkrut sebagai relawan dan dikuatkan melalui Surat Tugas, sementara dosen serta tenaga pendidik dengan Surat Keterangan (SK) Rektor. Sedangkan unsur eksternal merupakan pihak dari luar UGM yang disahkan dengan penerbitan Surat Perintah Kerja dan direkrut sebagai tenaga profesional di bawah rekanan sub-kontrak dengan PT. Gama Multi Usaha Mandiri. “Teman-teman satgas mahasiswa kebanyakan berasal dari Unit Kesehatan Mahasiswa (Ukesma). Tugas kami lebih ke administrasi dan logistik, juga bagian call center serta penerimaan pasien di shelter,” jelas Indah, salah satu Satgas COVID-19 dari unsur mahasiswa. “Sementara, satgas eksternal bertanggung jawab menangani shelter karantina secara penuh,” tambahnya. Selain itu, satgas (internal dan eksternal) yang bekerja di bidang testing, tracing, dan pelayanan shelter berkewajiban melaksanakan pelayanan kesehatan, seperti tracing (pelacakan kontak erat), pengobatan, pemantauan shelter, dan pemantauan isolasi mandiri bagi civitas UGM maupun masyarakat umum.
Tiga Tuntutan Satgas Eksternal
Kegiatan satgas telah berjalan selama 2 tahun, terhitung sejak tahun 2020 hingga tahun 2022. Namun, pada bulan Maret tahun ini, muncul laporan mengenai tiga tuntutan dari satgas eksternal atas hak-haknya yang belum terpenuhi sejak awal tahun 2022. Pertama, persoalan mengenai Surat Perintah Kerja yang belum turun hingga periode Maret 2022 yang pada akhirnya menyebabkan tidak adanya kejelasan kontrak kerja bagi mereka. Kedua, perihal gaji yang belum dibayarkan semenjak bulan Januari. Ketiga, belum diberikannya penghargaan berupa sertifikat pahlawan COVID-19 yang dijanjikan oleh Universitas saat Hari Pahlawan kepada pihak satgas. Pelaporan tersebut dibantu oleh beberapa pihak seperti Majelis Permusyawaratan Mahasiswa (MPM), MWA (Majelis Wali Amanat) dari unsur mahasiswa, serta Aliansi Mahasiswa UGM yang membersamai Satgas COVID-19 UGM dalam proses pencarian titik terang setelah aduannya tidak mendapatkan balasan dari pimpinan satgas. “Sebenarnya, satgas eksternal sudah pernah melapor ke pimpinan satgas internal, tapi karena nggak berdaya, responnya cuma siap dan berakhir nggak jelas. Akhirnya diam, dan nyoba ke dokter (Rustamaji) untuk menaikkan isu, tetapi tidak ada tindak lanjut. Kemudian MPM membantu mengadvokasikan dan mengawal penyelesaiannya,” jelas Darojat, perwakilan MPM UGM.
Isu ini menjadi krusial mengingat satgas eksternal berperan sebagai salah satu garda terdepan dalam penanganan kasus COVID-19. “Surat Tugas itu berfungsi sebagai tanda bekerja supaya pemenuhan gaji bisa terlaksana,” jelas Darojat. Dalam hal ini, keberadaan Surat Perintah Kerja sangat penting sebagai bukti bahwa pimpinan harus memenuhi hak-hak anggotanya. Terlebih, tanggung jawab satgas eksternal cukup besar. Sebagai penanggung jawab di shelter Baciro, Ari sendiri harus berada di shelter selama 24 jam setiap harinya, sementara gaji sejak bulan Januari hingga Februari belum diterima.
Saat ditemui LPPM Sintesa, Komandan Satgas, Rustamaji, mengatakan bahwa hal tersebut berkaitan dengan sistem remunerasi. Keterlambatan penerbitan Surat Perintah Kerja menjadi faktor belum dipenuhinya gaji satgas, “Jadi, SK (dan Surat Perintah Kerja) untuk tahun lalu sudah (terbit). Namun, karena ini awal tahun, harus ada legalitas, maka (gaji) baru bisa dibayarkan. Secara administrasi memang seperti itu,” tutur Rustamaji. Satgas eksternal di sini direkrut sebagai tenaga profesional di bawah rekanan sub-kontrak dengan PT. Gama Multi Usaha Mandiri. Dalam proses komunikasi dengan salah satu perwakilan MWA, ia juga mengakui bahwa adanya birokrasi panjang berupa rangkaian proses administrasi tersebut membuat prosesnya menjadi lambat. “Gaji akan dibayarkan 2 minggu setelah tanggal 22 Februari 2022,” jelas Rustamaji. Meski begitu, saat ditemui Sintesa, perwakilan satgas eksternal mengatakan bahwa Surat Perintah Kerja dan gaji baru diterima pada akhir Maret. Itu berarti, bergeser beberapa minggu dari rencana awal. “Mulai pembayaran per Maret kemarin, bertahap mulai dari bulan Januari. Maret dibayarkan bulan April,” jelas Ari sebagai anggota satgas eksternal.
Ia menuturkan, Surat Perintah Kerja yang baru saja terbit beberapa waktu lalu membuat kontrak kerja menjadi lebih jelas. “Meski Surat Tugas baru berupa soft file, saya sudah lega. Sekarang sudah ada kejelasan kontrak yaitu dari bulan Januari sampai Juni. Semua tuntutan sudah direspons dan dipenuhi pihak satgas.” tambahnya. Meski masalah tersebut telah selesai, dapat digarisbawahi bahwa faktor birokrasi adalah penghambat utama dalam kinerja organisasi. Kondisi tersebut mengulur waktu, sementara landasan kerja semestinya diberikan segera. Setiap proses juga perlu diiringi dengan komunikasi yang jelas. Hal ini berkaitan pula dengan kendala koordinasi satgas yang masih terpusat langsung kepada Komandan. “Saat ini belum ada koordinator lapangan. Sebenarnya kita perlu sekali, supaya tidak ada miskomunikasi dan lebih terkoordinasi. Mengurangi beban komandan juga,” jelas Ari.
Prosedur Penanganan yang Perlu Dipertanyakan
Salah satu fasilitas Penanganan COVID-19 yang disediakan UGM adalah shelter karantina yang sebenarnya merupakan alih fungsi dari asrama mahasiswa. Saat ini, hanya terdapat satu shelter yang aktif, yaitu Asrama Darmaputera Baciro. Shelter Mardliyyah Islamic Center UGM sendiri baru saja ditutup setelah selama tiga bulan aktif menangani lonjakan kasus Omicron di DIY.
Ketika ditemui Sintesa, seorang mahasiswa yang tidak mau disebut namanya bercerita tentang keterpaksaannya membohongi driver ketika menggunakan ojek online saat sedang positif COVID-19 sebab tidak tersedianya layanan penjemputan. Saat dikonfirmasi lebih lanjut, Yayuk Soraya, Kepala Gadjah Mada Medical Center (GMC) mengatakan bahwa perihal penjemputan hanya diutamakan untuk pasien gawat darurat. “Kalau covid tidak darurat memang tidak ada jemputan. Ambulans sekarang tidak ada driver, untuk pengantaran diutamakan gawat darurat. Mestinya kalau mahasiswa itu dia naik kendaraan sendiri lebih amannya dengan prokes,” jelas Yayuk. Layanan penjemputan bagi pasien COVID-19 ini sebenarnya menjadi suatu yang sangat penting, baik dalam kondisi gawat darurat maupun tidak, mengingat kekhawatiran masyarakat terhadap cepatnya penyebaran virus tersebut. Terlebih lagi, banyak mahasiswa yang menggunakan kendaraan umum untuk aktivitas sehari-hari karena tidak memiliki kendaraan pribadi.
Shelter dan berbagai macam fasilitas lain di dalamnya termasuk penjemputan semestinya merupakan satu kesatuan yang dapat dimanfaatkan oleh seluruh mahasiswa. “Anggaran pengelolaan shelter kan salah satunya dari UKT mahasiswa, jadi kalau memang ada yang positif COVID-19, bisa sekali untuk menggunakan shelter. Kebutuhannya pun terpenuhi, gratis. Obat-obatan, ruang isolasi, makan tiga kali sehari, rujukan ke RSA, ada akses Wi-Fi juga,” jelas Ari sebagai penanggung jawab shelter Baciro. Ia juga menilai sosialisasi mengenai satgas memang belum maksimal. “Kemarin, sekitar bulan Desember, ada anak yg positif (COVID-19) tetapi (dia) tidak tahu satgas dan SOP masuk shelter. Kita (UGM) masih kurang sosialisasinya. Setiap fakultas perlu sekali menjadi sarana perluasan informasi,” jelasnya.
Kerumitan ala Birokrasi
Permasalahan-permasalahan tersebut menjadi gambaran bahwa Satgas COVID-19 UGM masih memerlukan perbaikan sistem. Penting bagi pimpinan universitas untuk memastikan kesiapan birokrasi sebagai badan yang responsif berupa rangka pengerjaan yang jelas, sikap penyusunan kebijakan yang sigap, juga durasi proses pengaduan yang singkat perlu diperhatikan lebih lanjut. Terlebih lagi, ketika dihadapkan dengan keadaan yang memerlukan adopsi kebiasaan baru seperti pandemi di mana memerlukan adaptasi terhadap sistem secara cepat.
Layak untuk diingat bahwa soal Surat Perintah Kerja ini bukan sekadar perihal cukupnya atensi yang diberikan oleh pimpinan kepada satgas, tetapi juga bagaimana ia dapat mempengaruhi kelancaran penghidupan individu-individu yang terlibat di dalamnya. Hal ini dapat bercabang menjadi berbagai masalah baru yang mengancam keberlangsungan pelayanan kesehatan terkait COVID-19 di lingkungan UGM. Terlebih, pelaksanaan fungsinya sangat bergantung pada keberadaan anggota satgas. Selain itu, seluruh permasalahan ini juga menunjukkan jauhnya letak birokrasi dari genggaman para pekerjanya, mengingat seharusnya bagan tersebut menjadi penghubung berbagai elemen yang terlibat dalam menanggulangi penyebaran pandemi. Bahkan, setelah komunikasi dilakukan secara semestinya, keluhan tetap belum direspons sigap oleh para anggota birokrasi. Kondisi ini sudah seharusnya dapat menjadi sarana evaluasi bagi birokrat kampus untuk memikirkan ulang sistem administrasi dan birokrasi yang lebih efisien kinerjanya.
Hanya ketika hak dan kewajiban sudah seimbang serta terpenuhi, sinergi antara mahasiswa, tenaga kesehatan, dan pimpinan kampus dapat tercapai. Pada kesempatan berikutnya, pemangku kekuasaan dengan wewenangnya terhadap nasib para pekerja harus lebih peka dalam merespons keluhan yang berpotensi disampaikan. Selain itu, sikap yang lebih responsif dan adaptif menjadi suatu keharusan bagi suatu birokrasi dalam mengatasi masalah, alih-alih menunggu munculnya rantai masalah baru.
Penulis: Anisa Putri Arum Sari, Athaya Tasya Arioputri, Najma Alya Jasmine, Wenny Dwi Rahmawati
Penyunting : Fariz Azhami