Sakral, Ibu Bumi, dan Tanah: Menilik Permasalahan Agraria Indonesia

Penulis: Gede Agung Krisna Ambara, Rahma Kintara Saniya Dafin, Cindy Aulia Fitriana
Penyunting: Aldi Haydar Mulia, Sekarini Wukirasih, Fariz Azhami

Sebagai negara kepulauan, Indonesia telah dianugerahi daratan seluas 1.905 juta km2 (Hasanah, 2020). Daratan yang sangat luas tersebut menjadikan Indonesia memiliki kekayaan sumber daya yang melimpah. Atas keunggulan tersebut, diperlukan sistematika dalam mengatur persebaran manfaat yang dapat mencakup seluruh aspek keadilan dan kebermanfaatan. Pengaturan yang tidak komprehensif akan memicu lahirnya konflik berkepanjangan, salah satunya adalah konflik agraria. Konflik agraria merupakan konflik tentang penguasaan tanah dan perebutan sumber daya alam (Imron, 2015). Penyebab dari konflik tersebut salah satunya adalah ketidakberhasilan pemerintah Indonesia dalam menerjemahkan kemajemukan corak masyarakat ke dalam regulasi. Berkaca pada beberapa kasus agraria yang terjadi di Indonesia, terdapat kecenderungan pemerintah untuk mengabaikan ikatan sosio-kultural antara masyarakat dengan lahan yang dimilikinya. Selama ini, pemerintah seolah menganggap bahwa manusia dengan tanah hanya terikat dalam hubungan transaksional. Padahal pada kenyataannya, banyak pemilik tanah di beberapa daerah di Indonesia yang memiliki keterikatan secara batin dan masih menjunjung tinggi nilai-nilai kultural dimana tanah berhubungan dengan kepercayaan, agama, dan tradisi.

Salah satu pandangan yang menjunjung tinggi nilai-nilai kultural dalam masyarakat Indonesia tercermin dalam pandangan suku Jawa, yakni sadumuk bathuk sanyari bumi ditohi pati yang memiliki arti tanah dipandang sebagai sumber kehidupan, nyawa, dan harga diri bagi pemiliknya (Setiawan, 2022). Pepatah tersebut seringkali dimaknai oleh masyarakat Indonesia, khususnya bagi masyarakat Jawa, sebagai landasan dalam bertindak supaya kedudukan tanah tetap sakral. Selain itu, masyarakat Jawa juga seringkali menganggap bahwa tanah tidak memiliki kaitan dengan aspek materiil. Kepercayaan terhadap nilai-nilai lokal seperti yang dianut masyarakat Jawa ini perlahan mulai meningkatkan kepekaan masyarakat Indonesia akan  konsep filosofis ekofeminisme dan ekospiritualisme dalam pengelolaan konflik agraria di Indonesia.

Ekofeminisme: Manifestasi Perspektif Perempuan dalam Environtalisme yang Multidimensional

Ekofeminisme adalah cara pandang yang menyatakan bahwa opresi terhadap bumi dan opresi terhadap perempuan memiliki akar yang sama, terutama dalam ketidakberdayaan dan perlakuan tidak adil (Fahimah, 2017). Karenanya, gerakan feminisme dan ekologi mempunyai tujuan untuk saling memperkuat. Keduanya hendak membangun pandangan terhadap dunia dan praktiknya yang tidak berdasarkan dominasi salah satu gender (Wulan, 2007). Perempuan dipandang selalu termarjinalkan dalam pengambilan keputusan terkait pengelolaan lingkungan. Akan tetapi, ketika kerusakan lingkungan terjadi, justru merekalah yang merasakan dampaknya. Tak jarang perempuan sering disalahkan apabila tidak menyediakan air bersih untuk minum, memasak, dan mencuci di keluarganya. Terkadang juga disalahkan sebagai pihak penghasil limbah dan boros energi. Kenyataannya, lingkungan yang rusak seringkali dihasilkan dari keputusan-keputusan yang diambil oleh laki-laki. Salah satu contoh kasus dimana perempuan tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan adalah adanya penambangan batuan marmer di pegunungan Mollo. Aleta Baun sebagai tokoh komunitas perempuan di sana mengorganisasi para perempuan untuk menentang pembangunan tambang karena menyebabkan mereka tidak mendapatkan akses air bersih di wilayahnya. Padahal dalam kehidupan sehari-hari, perempuanlah yang menyiapkan segala keperluan untuk rumah tangga yang memerlukan air bersih. Akibat pembangunan tersebut mereka harus berjalan kaki jauh untuk mengambil air dan memikulnya di kepala untuk di bawa ke rumah. 

Kasus tersebut memberikan gambaran bahwa perempuan memiliki salah satu peran penting, yaitu menjaga keluarga mulai dari makanan yang dikonsumsi sehari-hari hingga kebersihan rumah. Sehingga jika terjadi kerusakan lingkungan, tidak hanya perempuan yang akan merasakan dampaknya paling dalam, namun juga keluarga dan kelangsungan generasi yang berusaha mereka jaga selama ini. Aleta Baun menentang ketidaksetaraan distribusi peran antara laki-laki dan perempuan yang cenderung memantapkan posisi subordinat perempuan dalam semua urusan keluarga baik di dalam komunitas, area domestik maupun ruang publik (Dalupe, 2020). Kepekaan dan kegigihan mereka sangat relevan jika diterapkan dalam penjagaan lingkungan sekitar (Wicaksana, 2022). Ekofeminisme berusaha menuntut ruang agar perempuan memiliki akses dan kontrol dalam pengambilan keputusan terkait lingkungan, dimulai dari lingkungan mereka sendiri terlebih dahulu. Sayangnya keputusan-keputusan tersebut sering diambil dengan bias gender hingga di tingkat nasional sampai saat ini. Jika terjadi kerusakan, maka Ibu Bumi akan menghukum manusia yang tidak menyayangi alam (Pratiwi, et. al., 2020).

Ekospiritualisme: Spiritualitas Dari dan Untuk Alam

Selain ekofeminisme, konsep ekospiritualisme juga dapat digunakan sebagai pedoman untuk menjelaskan masalah agraria di Indonesia. Konsep ekospiritualisme memandang alam sebagai sesuatu yang terikat dengan kehidupan manusia sehingga kerusakan alam diartikan sebagai pelepasan tanggung jawab terhadap nikmat Tuhan (Fios, 2013). Secara definitif, Valerie Lincoln (2000) mendefinisikan ekospiritualisme sebagai hubungan spiritual antara manusia dengan alam. Hubungan spiritual ini  menggabungkan kesadaran intuitif seseorang akan seluruh aspek kehidupan dengan pandangan-pandangan relasional terhadap apa yang ada di bumi sehingga melahirkan sebuah spiritualitas lingkungan dalam jiwa manusia (Lincoln, 2000). Kecerdasan spiritual lingkungan yang terbangun memunculkan kesadaran akan sakralitas segala ciptaan Tuhan dengan menghubungkan antara ekologi dan pandangan-pandangan yang berhubungan dengan lingkungan  atau environmentalism (Asmanto et al., 2016). 

Apabila terjadi kerusakan lingkungan, ekospiritualisme memberikan pemahaman bahwa hal tersebut akan menyebabkan ketidakseimbangan alam dan mempengaruhi ekosistem kehidupan. Karena sejatinya kita hidup dari dan untuk alam sehingga kedekatan spiritualitas telah terbentuk di setiap lini kehidupan tidak boleh dirusak karena keserakahan, keringnya spiritualitas manusia, dan egoisme manusia (Kurniasih, 2019). Oleh sebab itu, alam yang kita tinggali harus disakralkan dan dijaga dengan segenap jiwa sebagai warisan turun temurun para pendahulunya. Pandangan ini  akan melahirkan sikap humanis, etis, bermoral, integratif, dan holistik karena manusia diharuskan mewaspadai pemikiran logis-rasional dan teknis-mekanistik (Fios, 2013). 

Tutup Matanya Pemerintah terhadap Inklusi Nilai-nilai Ekofeminisme dan Ekospiritualisme dalam Penyelesaian Konflik Agraria 

Cara pandang mengenai hubungan alam dan manusia telah banyak mengalami perubahan. Dahulu alam dan manusia dinilai harus saling berharmoni menciptakan keseimbangan. Kini cara pandang tersebut telah berubah menjadi cara alam sebagai pemenuh kebutuhan manusia. Cara pandang baru ini justru diproduksi dan berusaha dilanggengkan oleh pemerintah yang lebih memfokuskan diri mengejar target pembangunan ekonomi tanpa melihat keserasian hubungan dengan alam, utamanya dengan tanah. Hingga saat ini, konsep ekospiritualisme dan ekofeminisme tidak dijadikan pertimbangan pemerintah dalam pembebasan lahan berkedok demi berlangsungnya pembangunan. Hal ini tercermin dalam peraturan perundang-undangan yang kurang memperhitungkan konteks lokal sebagaimana yang telah diyakini masyarakat adat (Rusyaidi, 2009). Peraturan tentang perlindungan hak masyarakat dalam rangka pengadaan tanah, baik dalam Perpres No. 36 Tahun 2005, Perpres No. 65 Tahun 2006, maupun Peraturan Kepala BPN-RI No. 3 Tahun 2007 sama sekali tidak menyinggung konsep ekospiritualisme dan ekofeminisme yang masih dianut banyak masyarakat Indonesia. Ketiadaan aturan yang membahas aspek ini menjadi tanda ketidakpedulian pemerintah terhadap budaya, adat istiadat, dan kepercayaan yang dianut masyarakat.

Akibatnya, hubungan batin dan kesakralan hubungan antara manusia dengan tanah tidak menjadi dasar pertimbangan mereka dalam membuat peraturan maupun dalam merumuskan kebijakan yang mengejar pembangunan semata. Selain itu, perempuan juga sering tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan terkait lingkungan mereka sendiri. Adanya eksklusi konsep ekofeminisme dan ekospiritualisme serta adanya perubahan cara pandang inilah yang disinyalir menjadi penyebab utama konflik agraria yang masih langgeng hingga hari ini. 

Dilihat dari sisi ekofeminisme, eksklusi yang sama dapat dilihat dalam  pengabaian suara perempuan dalam konflik agraria. Padahal seperti yang kita lihat dalam kasus Mollo, perempuan juga mengambil peran aktif dalam konflik agraria. Mereka pun tidak hanya berniat melawan si perusak lingkungan, tetapi juga menjadi agen perubahan yang mempromosikan hubungan yang harmonis antara manusia dengan alam (Pradhani, 2019). Sebab tujuan dari perjuangan ekofeminisme  adalah untuk membuat seluruh masyarakat menyadari bahwa perempuan dan lingkungan hidup merupakan subjek yang juga layak mendapatkan tempat di sistem sosial ekologi (PSLH UGM, 2022). Sementara itu dari sisi ekospiritualisme, jika alam terus memenuhi kebutuhan manusia tanpa adanya timbal balik manusia ke alam, bisa dipastikan bahwa alam akan ‘marah’ dan memberikan ‘hukuman’ berupa memberikan efek negatif dari perusakan lingkungan yang terjadi. 

Berdasarkan penjabaran di atas telah memberi bukti bahwa konsep ekofeminisme dan ekospiritualisme masih diabaikan oleh pemerintah Indonesia. Kemerdekaan atas kepemilikan tanah adat secara kolektif yang seharusnya dijamin oleh negara ternyata dalam pengimplementasiannya tidak sepenuhnya berjalan. Dalam hal ini, pemerintah sebagai aparatur yang berfungsi untuk menjalankan tugas-tugas kenegaraan demi kepentingan rakyat wajib untuk menjaga eksistensi nilai-nilai kultural. Salah satu cara untuk merawat tradisi adalah tetap meluhurkan konsep ekofeminisme dan ekospiritualisme yang sudah diyakini oleh masyarakat Indonesia dalam pengambilan keputusannya agar tradisi penjagaan lingkungan yang telah ada tidak hilang begitu saja.

Inklusi nilai-nilai ekofeminisme dan ekospiritualisme yang ada di masyarakat dalam memandang tanah menjadi catatan penting bagi penulis untuk pemerintah dalam melaksanakan program-program pembangunan. Jika masih terus diabaikan, konflik agraria masih akan terus terjadi dan semakin  bermunculan dengan tetap  diabaikannya  ikatan batin antara rakyat dengan tanahnya. Tanah sudah dianggap sebagai nyawa bagi sebagian besar  rakyat Indonesia, bahkan oleh pemerintah yang juga merupakan bagian dari rakyat. Namun, mengapa pemerintah justru menggadaikan nyawa rakyat tersebut demi mengejar pembangunan  yang tidak berpihak kepada nilai-nilai luhur dan kearifan lokal bangsa? Maka dari itu, penulis mendesak kepada pemerintah Indonesia setidak-tidaknya terhadap dua hal. Pertama, pemerintah harus dapat bersikap inklusif dengan membawa nilai-nilai ekofeminisme dan ekospiritualisme ketika melakukan pembangunan supaya tidak menimbulkan konflik agraria. Kedua, pemerintah harus memasukkan aspek nilai-nilai kesakralan antara tanah dan rakyat dalam memutuskan persoalan terkait bidang agraria dan pembangunan agar konflik yang sama tidak terulang.

guest
0 Komentar
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments