Polemik Pertambangan: Oligarki Batu Bara di Bumi Etam

Penulis: Saffanatul Afifah & Whafir Pramesty

Indonesia telah terkenal dengan sumber daya alamnya yang melimpah sejak ratusan tahun lalu, pertambangan masuk ke salah satunya. Begitu melimpahnya kandungan bahan tambang yang ada, mengutip dari BP Statistical Review of World Energy (2019), setidaknya dalam rentang 2008–2018, Indonesia masuk ke dalam lima negara penghasil tambang terbesar di dunia, terutama batu bara. Pada 2018, BP menyebutkan bahwa Indonesia memproduksi batu bara hingga 323,3 Ton. Uniknya, 220,3 Ton atau 68,14 persen diekspor ke luar negeri. Jika berasumsi keseluruhan angka tersebut diubah menjadi kapital yang akan digunakan untuk menyejahterakan rakyat Indonesia, tentu akan menjadi angka yang cukup masif. Asumsi tersebut hadir dengan landasan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, yang menyatakan, “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Hanya saja, fakta yang ditemukan di lapangan berbeda dengan apa yang diharapkan. Konflik antara pemilik pertambangan, korporat, maupun investor dengan masyarakat lingkar tambang atau masyarakat adat seringkali terjadi. Alih-alih menyejahterakan, tambang seringkali dianggap membawa bencana bagi masyarakat lingkar tambang.

Dari sekian banyak daerah tambang di Indonesia, Kalimantan Timur (Kaltim) termasuk ke dalam daerah penghasil bahan tambang, yaitu batu bara terbesar di Indonesia. Tentu dengan jumlah pertambangan yang begitu banyak, memperbesar kemungkinan terjadinya konflik antara pemilik pertambangan dan masyarakat adat atau lingkar tambang. Salah satu konflik yang terjadi adalah maraknya perampasan tanah warga oleh perusahaan batu bara di Samarinda, Kalimantan Timur. Kasus perampasan tersebut sempat menimpa keluarga Sarasvati, seorang mahasiswi Universitas Atma Jaya, DIY. Perempuan yang akrab dipanggil Saras tersebut mengatakan bahwa tanah yang dicuri bukan tanah yang ditinggali oleh keluarganya, melainkan tanah perkebunan seluas 1,5 hektar yang berada di Kecamatan Samarinda Utara. Saras menyebutkan bahwa saat itu sudah memasuki masa panen, tetapi pemandangan yang diterima oleh orang tuanya adalah lubang menganga berisi emas hitam, alias batu bara, yang menghabiskan setengah dari luas keseluruhan kebun tersebut. Tidak jauh dari lubang tersebut, terparkir rapi sebuah excavator milik pertambangan batu bara yang mengantongi izin menambang di daerah itu.

Ayah Saras tidak tinggal diam menghadapi kasus perampasan tanah perkebunnya. Ia mendatangi kantor perusahaan tambang batu bara terkait, lalu menuntut untuk bertemu dengan manajer lapangan yang bertanggung jawab atas proses penambangan di sekitar kebunnya. Tuntutan tersebut tidak dikabulkan hingga dua minggu lamanya. Memasuki minggu ketiga, salah satu utusan dari perusahaan tersebut akhirnya bersedia menemui, memberikan opsi negosiasi dari permasalahan yang ada. Perusahaan tambang batu bara menawarkan biaya ganti rugi sejumlah besaran harga tanah yang telah diambil. Awalnya Ayah Saras menolak tawaran itu karena ia juga menginginkan penggantian biaya perawatan perkebunan sebelum tanahnya dikeruk. Saras menyebutkan bahwa saat itu utusan perusahaan menolak permintaan ayahnya, serta hanya bersedia membayar sejumlah Rp75.000.000 untuk 1,5 hektar tanah yang dipermasalahkan. Pada akhirnya, Ayah Saras tidak memiliki pilihan lain selain melepaskan 1,5 hektar perkebunanannya dengan harga 75 juta. Risiko yang diterima adalah Ayah Saras harus menambal biaya kerugian perkebunan lainnya berupa pembayaran upah buruh, serta hanya mendapatkan setengah dari hasil panen yang ada. Demi meminimalisasi kerugian, orang tua Saras memutuskan untuk berhenti mempekerjakan 2 dari 3 buruh kebun. Saras mengakui bahwa 2 buruh tersebut hanya pasrah, “Ya mau bagaimana lagi? Protes tidak berguna, justru bikin makin melarat, lebih baik diam dan mencari perkebunan lain,” begitu pengakuan buruh itu kepada Ayah Saras. Mengantisipasi habisnya uang ganti rugi tanpa mendapatkan tanah perkebunan lain, orang tua Saras memutuskan membeli sepetak tanah di dataran tinggi yang juga masih masuk ke dalam Kelurahan Sungai Siring, Samarinda Utara. Keputusan tersebut diungkapkan oleh Saras sebagai keputusan yang kurang baik, mengingat pasokan air di dataran tinggi sangat minim, serta jauh dari sungai. Berbeda dengan tanah sebelumnya yang memiliki air melimpah, di kebun baru, alat penyedot air bertenaga listrik diperlukan. Meskipun ada begitu banyak biaya tambahan yang dikeluarkan, orang tua Saras tetap tidak memiliki pilihan lain. Uang ganti rugi yang mereka terima dari perusahaan batu bara hanya cukup untuk membeli tanah di daerah tersebut.

Persoalan tanah di atas tidak berhenti antara perusahaan pertambangan dengan orang tua Saras, melainkan juga warga lokal. Konflik lain berupa penipuan hampir terjadi ketika orang tua Saras hendak membeli sebuah tanah dari seorang makelar di daerah tersebut. Diceritakan oleh Saras bahwa makelar itu begitu cerdik menawarkan sebuah tanah dengan harga tertentu, tetapi batasan atau patok tanah dapat dipindah sesuai keinginannya. Beruntung orang tua Saras cepat menyadari dan tidak sampai apes dua kali.

Konflik di sekitar area pertambangan batu bara yang terjadi tidak hanya menimpa Saras beserta keluarga, melainkan pula warga sekitar. Ada begitu banyak kasus yang seringkali tidak tertangkap lensa kamera pers, seolah menunjukkan bahwa tidak terjadi apa-apa antara pertambangan dan masyarakat adat. Kasus keluarga Saras tidak hanya menyuratkan adanya pengambilan hak secara paksa oleh pertambangan, melainkan juga menyiratkan adanya peraturan yang dilanggar. Disebutkan dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No 4 Tahun 2012, bahwa batas minimum lingkar terluar lubang galian tambang dengan pemukiman warga adalah 500 meter. Penggalian tambang yang terus bergerak mendekati pemukiman membuat kemungkinan terjadinya konflik antara pemilik tambang dan masyarakat adat meningkat, salah satunya seperti perampasan tanah yang dialami keluarga Saras. Konflik ini menunjukkan adanya pertentangan antara yang disebutkan oleh Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 dengan fakta di lapangan, yaitu banyaknya kasus ketidakmakmuran masyarakat akibat adanya pertambangan.

Berangkat dari permasalahan di atas, sudah menjadi kewajiban bagi negara untuk mencari jalan keluarnya, terlebih tahun 2020 dianggap sebagai momentum yang tepat karena adanya tujuh perusahaan tambang batu bara raksasa yang memasuki masa penghujung Perjanjian Karya Pertambangan Batu Bara atau PKP2B (CNBC, 2020). Pada 12 Mei 2020 lalu, DPR akhirnya mengesahkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba). Idealnya, UU Minerba berguna sebagai prinsip hukum dasar yang terkait dengan pengelolaan sumber daya alam, serta mampu menjawab konflik berkepanjangan antara masyarakat dan pertambangan. Pada kenyataannya, UU Minerba justru menuai polemik akibat tidak adanya ketentuan yang memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat. Hak-hak masyarakat adat yang tercantum dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 memiliki cakupan yang luas, seperti hak untuk mengelola sumber daya alam yang ada, serta memperoleh perlindungan hukum dalam menikmati hak tersebut. Peran negara adalah bertanggungjawab untuk merealisasikan hal itu agar masyarakat tetap memperoleh manfaat atas tanah ulayat mereka, namun, seringkali masyarakat adat tersingkir ketika berhadapan dengan negara. Alih-alih memiliki hak menguasai, negara terlihat kurang memperhatikan masyarakat, dan cenderung memberikan hak istimewa kepada korporat serta investor, dalam pengelolaan tambang dengan alasan kepentingan nasional. Kedudukan masyarakat yang lemah secara politik menjadi salah satu penyebab sulitnya mendapatkan proses hukum yang adil dalam penanganan konflik tersebut (B. Salinding, 2019).

Konflik antara masyarakat hukum adat dengan perusahaan tambang menunjukkan masih adanya dampak negatif yang diterima masyarakat di sekitar tambang. Jika kebijakan yang dikeluarkan tidak mampu memberikan kontribusi terhadap kesejahteraan rakyat, maka hadirnya tambang perlu dipertanyakan, apakah benar digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat atau justru menyejahterakan elite serta korporat?

REFERENSI

B. Salinding, M. (2019). Prinsip Hukum Pertambangan Mineral dan Batubara yang Berpihak kepada Masyarakat Hukum Adat. Jurnal Konstitusi, 16(1), 148. https://doi.org/10.31078/jk1618

BP Statistical, 2019, BP Statistical Review of World Energy 2019, 68th edition, page 44–49.

UUD 1945

Umah, Anisatul, 2020, 2019 Berakhir, Nasib 7 Tambang Batu Bara Raksasa Masih Suram, CNBC Indonesia, https://www.cnbcindonesia.com/news/20191231213555-4-126806/2019-berakhie-nasib-7-tambang-batu-bara-raksasa-masih-suram, diakses pada tanggal 26 Juni 2020.

Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 4 Tahun 2012.

Perubahan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2020.

Sarasvati. (2019, September 20). Wawancara Pribadi.

guest
0 Komentar
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments