Pilkada 2024 Kurang Kompetitif, Election Corner Jelaskan Penyebabnya

Pilkada 2024
(lppmsintesa.com/Getsa)

Departemen Politik dan Pemerintah (DPP) FISIPOL UGM melalui lembaga riset Election Corner menyelenggarakan rilis media dengan tajuk “Peta Koalisi Pemenang Pilkada 2024 di Indonesia” pada Rabu, (05/03) di Laboratorium Big Data FISIPOL UGM. Rilis media ini disampaikan oleh Alfath Indonesia, dosen DPP UGM; Akhmad Fadhilah, mahasiswa DPP UGM; dan Tri Noviana, Manager Program Yayasan Lembaga Kajian Islam dan Transformasi Sosial (LKIS) Yogyakarta.

Menurut Fadhilah, penelitian mengenai Pilkada 2024 penting untuk dilakukan. Hal tersebut karena munculnya dominasi koalisi besar dalam pilkada kali ini yang perlu dikaji implikasinya terhadap demokrasi lokal di Indonesia. Fadhilah memetakan hasil Pilkada 2024 dalam dua poin penting. Pertama, adanya dua pasangan independen yang unggul di Aceh Besar dan Sabang akibat kuatnya peran masyarakat sipil selama pilkada. Kedua, ada 75,96 persen daerah di Indonesia yang telah terprediksi pemenangnya. Poin tersebut menurutnya tidak sesuai dengan esensi demokrasi. “Tentu ini sangat mengurangi esensi demokrasi yang ada, karena demokrasi yang baik kan proses dan hasilnya tidak terprediksi” tutur Fadhilah. Ia menambahkan, Jawa Timur merupakan provinsi yang paling mudah untuk diprediksi siapa saja pemenangnya. Di sisi lain, Papua menjadi wilayah dengan pilkada paling kompetitif, dengan 3 dari 9 daerah pemilihan yang dapat ditebak siapa pemenangnya.

Fenomena kemunculan banyaknya daerah yang kurang kompetitif selama Pilkada 2024 dijelaskan lebih dalam oleh Alfath. Alfath memaparkan data bahwa biaya berpolitik di Indonesia semakin mahal setiap tahun. Mahalnya biaya berpolitik disebabkan oleh munculnya daerah baru, kenaikkan tingkat inflasi, dan politik uang yang semakin marak. Ia menambahkan, biaya politik yang mahal juga mendorong partai politik untuk mengusung tokoh dengan modal sosial besar untuk maju merepresentasikan partai politik pada pilkada. Menurut Alfath, ini mengakibatkan mereka yang ingin terjun dalam kontestasi pilkada lebih mengutamakan untuk mengejar kursi jabatan dan menomorduakan ideologi. “Jangan-jangan pragmatisme telah menjadi ideologi dasar dari negara ini.” tegas Alfath.

Selain biaya berpolitik yang semakin mahal, Alfath juga menjelaskan maraknya politik dinasti sebagai sebuah tantangan. Ia memaparkan, dalam sistem politik Indonesia saat ini hanya memungkinkan dua aktor utama yang mampu mengikuti mekanisme pemilu. Menurutnya, aktor pertama adalah anggota keluarga pejabat berstatus petahana dan yang kedua adalah kalangan pengusaha atau oligarki dengan modal besar. Alfath melihat, aktor ini memanfaatkan kontestasi pilkada sebagai kesempatan untuk melakukan ekspansi modal. Perilaku elit membuat masyarakat mengalami yang apa disebut oleh Alfath sebagai democracy fatigue atau kelelahan demokrasi. Alfath berpandangan bahwa masyarakat merasa demokrasi tidak berdampak bagi hidup mereka, sehingga memutuskan untuk tidak memilih hingga merusak surat suara.

Selain kelelahan demokrasi, Novi menambahkan bahwa kurangnya partisipasi masyarakat dalam Pilkada 2024 dipengaruhi oleh jarak waktu antara pilpres dan pilkada yang relatif singkat. Menurutnya,ini menyebabkan warga tidak memiliki waktu yang cukup untuk mengenal calon-calon yang akan mereka lihat di surat suara secara optimal. Tidak seperti Pilkada 2017 dan Pilpres 2019, Novi mengamati bahwa tidak ada ujaran kebencian selama Pilkada 2024. Novi menambahkan bahwa fenomena politik uang juga memengaruhi perilaku memilih masyarakat dalam Pilkada 2024. “Cara memberikan politik uang beragam dan itu mempengaruhi suara warga.” tegasnya.

Penulis: Getsamane Eleazar Arapenta Sitepu
Penyunting: Ahmad Faiz Aqila

guest
0 Komentar
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments