Para Penjual Tabah yang Mengadu Nasib di Kampus Impian

Penulis: Maulana Aji Negara & Sayyid Al Murthado

Di Universitas Gadjah Mada, tepatnya di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik terdapat sebuah kantin yang cukup terkenal di kalangan mahasiswa rumpun Soshum karena makanannya yang cukup terjangkau, variatif, dan enak. Kondisi kantin yang bersih dan nyaman semakin menambah daya tarik bagi mahasiswa untuk makan di kantin Fisipol. Kantin Fisipol atau Fisipoint dulunya tidak seindah dan se-modern sekarang karena pada tahun 2018 dilakukan renovasi besar-besaran di Fisipoint. Tanpa diketahui banyak orang, ternyata Kantin Fisipol atau Fisipoint ini memiliki cerita menyedihkan bagi para pedagangnya.

Bapak K, Y, dan Ibu E adalah tiga dari sembilan pedagang yang berjualan di kantin Fisipol UGM. Bapak K adalah seorang penjual ayam geprek, Bapak Y adalah penjual bakso, dan Ibu E adalah penjual nasi dan lauk pauk prasmanan. Bapak Y berjualan sejak 2013 dan Bapak K menyusul setengah tahun kemudian. Pada masa itu Kantin Fisipol benar-benar mengalami masa kejayaan. Terlebih ketika Bapak H, dosen Fisipol menjadi manajer kantin. Saat itu para pedagang mendapatkan intervensi berupa penetapan harga maksimum atau dalam dunia ekonomi disebut dengan ceiling price atau harga maksimum. Ini bertujuan agar para penjual tetap menjual dagangan mereka dengan harga yang terjangkau bagi mahasiswa dan tidak seenaknya menaikkan harga. Batas maksimal harga saat itu adalah Rp13.000,00 dan naik menjadi Rp15.000,00 di tahun 2015. Selain itu, manajer kantin juga menerapkan sistem klasemen gugur di mana para penjual yang memiliki omzet terendah harus digantikan posisinya oleh penjual yang lain. Tentu saja ini menambah persaingan tiap penjual, tetapi di sisi lain juga menciptakan sebuah kerja sama antar penjual yang ditandai dengan adanya paguyuban penjual di kantin Fisipol. Melalui wadah paguyuban ini, para penjual saling bekerja sama untuk kepentingan mereka. Ketua dari paguyuban ini tidak lain adalah Bapak K sendiri.

Sistem yang telah diberlakukan benar-benar berhasil membuat Kantin Fisipol terkenal di kalangan mahasiswa. Dalam satu bulan, kantin Fisipol dapat meraih omzet hingga Rp 150 juta dengan bagi hasil 20% dengan pihak kampus. Penghasilan kotor terendah penjual adalah 1,2 juta per hari. Ini adalah angka yang cukup fantastis untuk sebuah kantin di kampus. Selain keberhasilan dari sistem manajerial, Kantin Fisipol juga sukses karena keberhasilan para penjual menjalin hubungan baik dengan para mahasiswa. Para mahasiswa sangat akrab dengan para penjual seperti halnya Bapak K yang memiliki pelanggan setianya sendiri begitu juga dengan Bapak Y dan Bu E. Bahkan Bapak K mengatakan bahwa harga murah tidak masalah bagi beliau karena beliau paham bagaimana kondisi dompet para mahasiswa dan menganggap itu sebagai sedekah bagi para penuntut ilmu.

Semua kondisi tersebut berubah seketika saat Kantin Fisipol ditutup sementara untuk renovasi pada Maret 2018. Para penjual mengangkut semua barang karena bertepatan dengan kontrak yang habis. Setelah renovasi kantin selesai, para penjual harus mengikuti tes makanan kembali untuk berdagang di kantin Fisipol. Saat itu, ada lima puluh penjual mengikuti tes makanan yang diadakan selama dua hari. Juri tes makanan adalah dosen dan perwakilan mahasiswa. Sebagai pedagang lama, ketiganya tentu berharap untuk diizinkan berjualan kembali. Akan tetapi, setelah tes makanan dilaksanakan, ternyata tidak ada kabar dari pihak kampus hingga delapan bulan lamanya. Mereka benar-benar menunggu kabar dari Fisipol, tetapi tetap saja tidak ada pemberitahuan apapun. Tidak disangka tiba-tiba saja kantin Fisipol sudah dibuka dan pedagang baru mengisi semua stand. Ketiga pedagang tersebut bahkan mengetahui hal tersebut tidak melalui jalur resmi, tetapi karena ada mahasiswa yang menghubungi mereka dan saat itu sudah 8 bulan setelah tes makanan. Bapak Y mengaku saat itu dihubungi oleh mahasiswa melalui Whatsapp yang ingin memesan bakso Bapak Y. Sementara, Ibu E mengetahui bahwa kantin Fisipol sudah buka karena ada mahasiswa yang datang ke rumahnya. Mereka juga baru mengetahui bahwa ternyata Manajer Kantin Fisipol sudah berganti tidak lagi Bapak H.

Ketiga pedagang tersebut mengaku ikhlas tidak lagi berjualan di kantin Fisipol. Hanya saja, mereka menyayangkan minimnya transparansi dari pihak Fisipol. Proses seleksi yang mereka lewati juga tidak jelas dan berlarut-larut. Mereka terpaksa menunggu tanpa kepastian selama delapan bulan. Akibatnya, mereka harus mencari sumber penghidupan lain selama itu karena mereka memiliki keluarga yang butuh uang untuk melanjutkan hidup. Bapak K cukup beruntung karena memiliki warung makan di rumah, istrinya juga menerima pesanan katering. Bapak Y merupakan ahli proyek sehingga kembali memegang proyek. Sementara itu, Ibu E terpaksa menyewa tempat di Pasar Ketan untuk berjualan gorengan.

Mereka tidak melakukan protes atau menanyakan kepastian pada pihak Fisipol karena manajer lama mereka sudah mengundurkan diri sehingga mereka tidak tahu ingin bertanya atau melayangkan protes pada siapa. Ini adalah kondisi yang cukup memprihatinkan.

Saat ini, Bapak K, Y dan Ibu E berjualan di kantin salah satu fakultas di dekat Fisipol. Mereka merasa proses seleksi tenant sangat berbeda dengan di kantin Fisipol. Saat itu, dua hari setelah tes makanan, hasilnya langsung keluar. Hasilnya lengkap dan tercantum nilai setiap pelamar. Tak menunggu lama, mereka juga dapat langsung berjualan di kantin tersebut. Oleh karena itu, mereka merasa sangat heran dengan proses seleksi kantin Fisipol.

Apa yang telah dialami para penjual di Kantin Fisipol yang lama adalah kondisi yang cukup memprihatinkan. Pedagang-pedagang ini tergolong kaum termarginalkan, karena golongan termarginal salah satunya dapat diklasifikasikan secara ekonomi. Mereka secara ekonomi adalah penempat strata bawah, karena hanya penjual biasa dan seringkali keberadaan mereka tidak dihiraukan oleh masyarakat umum. Hal ini jelas terjadi pada mereka ketika mereka tidak diberi kesempatan untuk berjualan lagi di Kantin Fisipol yang direpresentasikan dengan minimnya transparansi dari pihak Fisipoint. Seharusnya, pihak kampus Fisipol mengumumkan hasil seleksi secara transparan dan cepat. Meskipun terlihat sepele, perihal informasi tentang kepastian nasib mereka sangatlah berarti karena mereka bisa segera mencari pemasukan yang lain dan tetap tanpa harus menjalani masa menunggu yang melelahkan.

Kaum termarginal seperti halnya para pedagang kecil yang berjualan di kampus tentunya tidak bisa dibiarkan terus-menerus mendapat perlakuan yang tidak adil. Pihak kampus dengan slogan politik kemanusiaan yang sering digembor-gemborkan seharusnya memiliki kepekaan terhadap kondisi mereka. Apalagi dengan background terpelajar dan akademisi, seyogyanya pihak kampus paham kondisi masyarakat bawah seperti kaum marginal. Setidaknya pihak kampus memiliki kewajiban untuk memberi bantuan berupa fasilitas dan memenuhi hak-hak mereka untuk mencari pundi-pundi rezeki dengan tenang dan nyaman melalui peningkatan transparansi.

Hal yang dapat kita apresiasi kepada Bapak K, Y dan Ibu E adalah sikap sabar dan tabah mereka dalam menghadapi perlakuan orang-orang di atas mereka. Keuletan mereka dalam berjualan juga perlu diapresiasi karena kegigihan mereka berjuang akhirnya membawa mereka ke tempat jualan yang lebih baik dari sebelumnya. Kita dapat meneladani sikap-sikap mereka dan tentu saja sekaligus meningkatkan kepekaan terhadap kaum marginal yang ada di sekitar kita.

guest
0 Komentar
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments