Jomboran Melawan: Satu Lagi Kisah Kriminalisasi Warga dalam Konflik Tambang Bagian 2

Bagian 2

Jam hampir menunjukkan pukul 11 siang ketika kami menyudahi wawancara dengan Mas Tandi. Kami baru akan mengucapkan terima kasih atas waktunya ketika Mas Tandi bertanya, “Ini tadi kalian dari kampus? Terus, habis ini acaranya kemana?” Kami pun bertatapan bingung satu sama lain. Dengan cengengesan kami menjawab, “Mmm, nggak ke mana-mana, sih, Mas.” Mas Tandi lalu tersenyum. “Ooooh, emang diagendakan ke sini, ya? Kalau emang gitu dan habis ini selo, mau lihat ke bantaran, po?” ajaknya. Dengan gembira, kami pun mengiyakan ajakan Mas Tandi tersebut. Setelah menunggu sebentar, kami pun berkendara beriringan, masuk lebih dalam ke pemukiman Dusun Jomboran. 

***

Bantaran sungai yang dimaksud Mas Tandi berada di belakang sebuah rumah penuh dengan hiasan topeng lukis yang nampaknya belum dicat. Seorang lelaki hampir paruh baya dengan celana pendek biru dikenalkan kepada kami sebagai pemilik rumah itu. “Orang-orang biasa panggil gue Bang Sapoy.” begitu ia memperkenalkan dirinya ketika kami bertanya mengenai identitasnya. Ia kemudian mempersilahkan kami untuk duduk di sebuah pojok dengan kursi dari semen di mana kami dapat dengan jelas mendengarkan suara aliran Sungai Progo yang kira-kira hanya berjarak 15 meter. 

Setelah mengucap, “Sorry, yah, gue jadi setan,” Bang Sapoy pun menyulut rokoknya dan mulai berbincang dengan kami mengenai pandangannya akan problema izin tambang bermasalah yang kini dilawannya bersama warga Jomboran lainnya. Namun, agak berbeda dengan Mas Tandi yang menekankan pada pertahanan tanah kelahirannya, Bang Sapoy yang merupakan pendatang mengungkapkan, “Yang kuanggap sebagai masalah ini bukan cuma soal Jomboran. Jomboran itu cuma sebagian dampak kecil. Yang kumasalahin itu lingkungan. Air, tuh, sumber kehidupan dan Sungai Progo ini merupakan salah satu sumber mata air terbesar di Jogja, lho. Ketika itu diganggu, ya, hati-hati aja (terhadap dampaknya). Dampak sementara yang langsung paling cuma dialami orang-orang sekitar aliran sungai. Tapi mungkin dua-tiga tahun ke depan, Jogja krisis air kalau sampai dirusak ini (sungainya).” Bang Sepoy lalu menghisap rokoknya dan menghela asapnya. “Aku pengen masyarakat tahu persoalan ini bukan cuma persoalan membantu Jomboran, gitu. Perjuangan kita ini perjuangan (menjaga) lingkungan.” 

Sepaham dengan Mas Tandi yang mengatakan bahwa perlawanan mereka ini bukan tanpa halangan, Bang Sapoy menambahkan bahwa selain adanya kriminalisasi dan intimidasi terhadap masyarakat, kedua korporat tersebut juga membungkam suara para warga untuk menyebarkan masalah ini lebih luas. “Dulu pernah ada beberapa mahasiswa PTS maunya (mengadakan) seminar tentang konflik masyarakat di Kali Progo, narasumbernya dari kita, gitu. (Terus) dibatalkan sama dosennya karena takut dibakar mobilnya.” 

Karena belum memahami konteksnya, pada awalnya kami agak bingung. Mas Tandi pun tersenyum dan menyahut, “Itu, dulu katanya ada yang pernah ngangkat (isu ini), lalu  dibakar mobilnya.” Sambil membuang rokoknya yang telah habis, Bang Sapoy pun melanjutkan, “Padahal, maksud kami, tuh, mau minta bantuan buat riset ilmiah dari institusi resmi, biar menguatkan (alasan) kita juga, mengapa (tambang ini) ditolak. Soalnya, kampung sebelah itu kan ketika warganya menolak malah ditantangin, tuh. Ditanyain ada buktinya apa enggak? Ada riset e opo ora? Ada hasil penelitiannya nggak kalo (sungai ini) nggak boleh ditambang?”  

Selain dibungkam dan ditantang untuk melakukan riset–yang menurut Mas Tandi dan Bang Sapoy sangat tidak masuk akal karena masyarakat tidak bisa melakukannya sendiri dan ketika meminta bantuan justru ditolak, masyarakat bantaran Kali Progo juga harus menghadapi pemerintah desa hingga kabupaten serta aparat kepolisian yang tampaknya tidak berpihak pada mereka. Misalnya saja, pada proses audiensi dan pelaporan keluhan. Ketika melaporkan keluhan mereka ke dinas yang berwenang di proses perizinan, keluhan mereka tidak ditanggapi, dengan dalih bahwa hal itu merupakan wewenang mereka pemerintah, sedangkan mereka dari dinas hanya melayani.” Padahal, ketika masyarakat mengadu pada pemerintah, mereka kerap kali menghindar. ”Apalagi tingkat bawah pemerintahan di Desa Sendang Agung, itu juga sama. Itu wewenangnya (pemerintah) provinsi. Saya (pemerintah desa) cuma melayani, prosedurnya seperti ini.” kata Mas Tandi. Selanjutnya, menurut Bang Sapoy,  alasan-alasan itu menjadi ciri bahwa pemerintah tidak peduli terhadap eksploitasi yang terjadi di bantaran Kali Progo itu. Ia lalu mengungkapkan kekecewaannya. “Harusnya negara hadir ketika ada masyarakat yang melindungi lingkungan.” 

Bang Sapoy berharap masalah eksploitasi ini bisa sampai ke tingkat nasional. Menurutnya, jika masalah ini tidak ramai diperbincangkan, maka negara tidak akan menganggap serius permasalahan tersebut. “Aku pengen sih isu ini (sampai) ke tingkat nasional…(karena) selama nggak rame, isu itu tidak akan dianggap.” katanya. Menurutnya, jika isu ini tidak viral, yang ada hanyalah pengabaian, atau bahkan kriminalisasi terhadap warga Jomboran yang turut menolak kegiatan eksploitasi di bantaran Kali Progo. Maka dari itu, ia mengharapkan partisipasi dari seluruh lapisan masyarakat untuk ikut mengangkat isu ini ke permukaan. 

***

Setelah puas berbincang bersama Bang Sapoy selama kurang lebih satu jam, kami pun undur diri dari rumahnya yang berada di pinggir Kali Progo dengan perasaan  campur aduk. Di satu sisi, kami cukup senang karena Mas Tandi dan Bang Sapoy dapat mempercayakan cerita ini kepada kami untuk direproduksi narasinya. Namun, di sisi yang lain, kami juga cukup kesal dengan diamnya pemerintah terhadap perusakan lingkungan dan ketidakadilan yang diterima oleh masyarakat setempat. Sepanjang jalan pulang, diiringi cahaya matahari yang lebih terik, satu pertanyaan pun timbul di benak kami. Sampai kapan pemerintah desa hingga daerah mau menutup hati nuraninya terhadap seruan masyarakat dan justru membuka telinganya terhadap persuasi perusahaan tambang pasir?

Penulis: Sekarini Wukirasih, Aldi Haydar Mulia, Marsa Ikhtira Utami, M. Daffa Arnanda

Pewawancara: M. Daffa Arnanda 

Penyunting: Tara Restu Ayu Pasya

guest
0 Komentar
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments