Ibu Sulastri : Nyala-Redupnya Kehidupan dan Nasib Kaum Miskin Marjinal

Penulis: Langit Gemintang M.H dan Salsabila Nur Aini

Pada hari Kamis yang panas dan berdebu, seorang ibu berpakaian lusuh berjalan menghampiri setiap meja makan di pusat kuliner Klebengan. Ia bernyanyi dengan cara ala kadarnya sambil menggoyangkan kecrekan di tangan. Satu-dua pengunjung merogoh dompet atau kantongnya lalu memberikan sedikit uang receh atau kertas. Ibu itu bernama Sulastri, seorang perantau kelahiran Magelang yang kini bertaruh nasib di Yogyakarta.

Sebelum menjadi pengamen, Ibu Sulastri bersama suaminya dulu bekerja dalam kelompok kesenian kuda lumping dari Ponorogo, Jawa Timur. Kuda lumping adalah tari tradisional Jawa yang menampilkan pasukan berkuda. Makna yang terkandung dalam tarian ini disampaikan melalui gerakan tangkas dan piawai oleh prajurit yang menunggang kuda tiruan dari bambu. Kuda lumping identik dengan kekuatan supranatural. Tidak sedikit para penari yang mengunyah pecahan kaca, menyayat lengan dengan golok, dan membakar diri.

Kuda lumping menghidupkan dapur rumah Ibu Sulastri. Kehidupan keluarganya lebih baik saat masih menjadi bagian dari Eka Budaya — nama kelompok kesenian tersebut. Sayangnya, kelompok kesenian itu terpecah dan terbagi-bagi menjadi beberapa kelompok. Ibu Sulastri dan suaminya tidak bisa lagi berdiri di panggung kesenian. Mereka terpaksa bekerja sebagai pengamen untuk melanjutkan rantai penghidupan keluarganya.

Menjual suara di jalanan bukanlah pekerjaan dengan penghasilan yang pasti. Ia pernah hanya mendapatkan uang sebesar Rp3.000,00 — Rp4.000,00 walau sudah berkeliling kesana-kemari. Dalam mengamen, biasanya uang yang didapatkan adalah Rp15.000,00 — Rp50.000,00 — jumlah pendapatan yang paling besar baginya. Suaminya, selain menjadi pengamen juga bekerja serabutan dan membuat pecut jika ada pesanan.

Gabungan dari pendapatan ia dengan suami dan anaknya, yang bekerja di Jogja Center Mall, sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-sehari. Meski begitu, ada saat di mana ia dan suami harus ngoyo bekerja demi memenuhi kebutuhan tambahan yang dapat datang kapan saja, seperti keperluan seragam anaknya. “Kalau ibarat orang Jawa itu ngempet ngelih — menahan lapar supaya bisa mencukupi kebutuhan anak sekolah,” ungkapnya.

Sebagai pengamen independen, Ibu Sulastri pernah tertangkap oleh Satpol PP di sekitar UGM karena ketidaktahuannya. “Saya sudah mengamen selama dua puluh dua tahun tapi baru pertama kali ditangkap sama Satpol PP. Di antara pengamen masalahnya ‘kan di banyak yang banci dan bencong. Nah, itu masalahnya sementara saya tidak tahu.” Ibu Sulastri sendiri dapat bebas berkat kakaknya yang merupakan anggota Kopassus, pekerjaan dalam masyarakat yang dianggap terpandang. “Wah, sudah lama,” ungkapnya. Penangkapan itu terjadi kira-kira tahun 2016 atau 2015, ia tidak ingat betul.

Selama menjadi pengamen Ibu Sulastri tidak pernah mendapatkan pelatihan keterampilan dari pemerintah. “Selama mengamen belum pernah,” ungkapnya lalu diakhiri dengan gelengan kepala. Pelatihan yang belum diterima oleh Ibu Sulastri membuatnya menjadi tidak memiliki keterampilan lain. Dengan melihat dunia pekerjaan, keterampilan alternatif dapat digunakan untuk bekerja ketika seseorang kehilangan pekerjaan sebelumnya. Akibatnya, ia memilih pekerjaan non-formal seperti mengamen yang tidak begitu membutuhkan banyak keterampilan.

Ibu Sulastri cenderung mengalah dalam persaingan antar pengamen. Jika suatu tempat yang ramai sudah terdapat dua pengamen, maka ia memutuskan untuk mengamen di tempat lain. Ia merasa tidak enak dengan pemilik warung yang sudah banyak ditumpangi oleh pengamen lain. Lebih baik pergi untuk menghindari konflik. Ia percaya bahwa Tuhan adalah sebaik-baiknya pembagi rezeki. Selama keyakinan itu ada, syukur selalu dipanjatkan atas rezeki yang ia terima.

Pengalaman menarik bagi Ibu Sulastri saat masih jadi anggota Eka Budaya adalah ketika penampilan kuda lumpingnya disaksikan oleh Pak Harmoko dalam rangka peresmian Hotel Ibis yang berada di belakang Mall Malioboro. Pak Harmoko adalah Menteri Penerangan Indonesia (1983–1997) dan Ketua MPR pada masa pemerintahaan B.J. Habibie. Kelompok kesenian Eka Budaya juga pernah tampil dalam acara peresmian UII dan UMY. Ada banyak tamu yang datang. Ibu Sulastri bercerita dengan nada gembira.

Ibu Sulastri adalah satu dari sekian banyak pengamen yang berjuang di wilayah urban Yogyakarta yang keras. Kerasnya hidup sebagai pengamen adalah hal yang terpaksa ia dan suaminya lakukan karena hilangnya mata pencaharian utama akibat bubarnya kelompok kesenian Eka Budaya. Tidak adanya keterampilan dan modal membuat usaha untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih layak tertutup, alhasil mereka memilih jalan mengamen yang hanya membutuhkan sedikit keahlian. Selain itu, tidak adanya bantuan pelatihan keterampilan dari pemerintah menjadi bukti bahwa pemeliharan terhadap kaum marjinal oleh pemerintah masih belum maksimal.

Ketimpangan masih terus berlanjut jika pemerintah tidak segera melakukan pelayanan dan membimbing mereka agar dapat mandiri dan lebih mapan, minimal menjadi kaum menengah. Peningkatan ekonomi kaum marjinal yang berada di bawah garis kemiskinan akan menyempitkan jurang ketimpangan sosial. Dari belum maksimalnya usaha pemerintah ini, bisa dibilang “negara memelihara kaum miskin” yang tercantum dalam UUD masih berada dalam angan-angan belaka.

Dengan melihat realita mengenai usaha pemerintah yang belum maksimal, alangkah baiknya masyarakat yang sudah mapan membangun gerakan-gerakan sipil. Gerakan tersebut bertujuan membantu kaum-kaum marjinal miskin agar berani bergerak bersama dan maju menjadi kaum menengah. Gerakan ini berusaha menyadarkan masyarakat marjinal atas posisi mereka yang terasing dari kehidupan sosial di sekitarnya. Selain itu, mereka juga harus disadarkan mengenai ketertindasan mereka akibat kebijakan-kebijakan yang tidak pro kaum marjinal atau belum sampai ke mereka. Dengan penyadaran itu muncul gerakan bersama antar kaum marjinal untuk bangkit dengan dibantu dan dibimbing oleh masyarakat mapan yang tergabung dalam gerakan sipil.

guest
0 Komentar
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments