Oleh: Gantar E. Sinaga
Bulan-bulan saat matahari menguasai lima perenam waktu di kota Nuuk[1] akan segera berakhir. Pertengahan Agustus, di hari ulang tahunku yang ke-18, kuputuskan untuk bertemu kembali dan berharap menemukan adikku, Bjarki, yang kuyakini telah menyatu dengan kehidupan di seberang dunia. Masa kecilnya penuh dengan pahit getir menghadapi dinginnya kemiskinan dan bekunya perkotaan hasil kongsi dari ’Negara yang Paling Bahagia’ katanya[2]. Suatu bentuk kengerian telah mengelilingi si ‘beruang kecil’ ini sejak dirinya dilahirkan, lelaki kecil harapan ayahnya itu terbunuh oleh ambisi yang disetir oleh harapan-harapan itu sendiri.
Kini getir ini akhirnya dirasakan oleh kakak tunggal semata wayang keluarganya. Ketika matahari sudah lelah membagikan arunika[3] keemasannya di padang salju, kembali ia berlari dari kejaran saudaranya, sang rembulan. Rembulan pun akhirnya beristirahat di atas permukaan tebing es. Kurus rupanya hanya berbentuk sabit dan setengah melengkung, menghembuskan napas berat setelah berlarian mengejar sang empunya aArunika. Dan terpaan angin keras ikut serta mengikuti arahku berlari. Kutinggalkan kedua orangtuaku di rumah jingga kami, yang di dalamnya tidak secerah warna cat luarnya.
Angin membawaku ke teluk yang telah membeku, tempatku biasa memancing dan berburu narwhal[4]dengan Bjarki. Tempat itu pula adalah destinasi terakhir dan saksi bagi keputusan adikku yang terlanjur muda dan hilang asa. Bersama anjing-anjingnya: Alpo, Ulla, Jon, dan Grisha, adikku membawa mereka dengan kereta salju kecilnya dan langsung melesat kencang, entah apa yang ada di dalam pikirnya waktu itu. Yang kutahu dia ingin sekali terbang dengan anjing-anjingnya menembus awan salju agar bisa melihat dunia luar.
Namun, dia bukanlah pemuda yang hilang akal. Dia mengerti bahwa terbang di daerah yang terisolir seperti Nuuk adalah hal yang mustahil. Bahkan ia juga tahu bahwa pencapaian terbesar yang pernah didapat seorang dewasa di Greenland tidak lebih dari berusaha kerja dan tidak minum selama seminggu atau kurang. Akhirnya dia memilih ‘terbang’ dengan cara yang lebih masuk akal. Bukan melesat ke langit, melainkan meluncur dan menukik menuju genangan teluk dan berharap alam membawanya pergi dari pulau salju tanpa masa depan ini. Semua orang yang tinggal di lingkungan kami tahu, bahwa tidak ada masa depan di Nuuk. Bjarki bukanlah satu-satunya anak yang hilang semangat hidupnya. Bahkan berita seorang anak bunuh diri di lingkungan kami sudah seperti makanan sehari-hari, namun aku tetap percaya bahwa Bjarki dan keempat anjingnya sudah menemukan tempat yang lebih indah dari kota kelahiran kami.
Di hari kelahiranku ini, aku ingin membuktikan sendiri kalau keyakinanku tentang keadaan Bjarki benar. Bahwa mereka berlima sedang pergi mencari petualangan baru, berburu narwhal di dalam sana dan menemukan alam yang tidak hanya penuh salju, gelap, dan dingin. Mungkin akan ada padang sabana dan stepa di seberang dunia. Kuputuskan untuk menyusulnya di saat bulan sedang menguasai padang penuh salju ini. Aku tidak mengenakan mantel buluku untuk pergi keluar malam itu. Kukenakan setelan putih berukir kulit anjing laut yang disulam warna-warni, dengan celana kulit dan sepatu bot putih dengan ukiran merah darah. Kukenakan setelan pakaian putih ini setiap kali aku memperingati hari ulang tahunku.
Akhirnya aku menenggelamkan diriku ke teluk. Yang pertama kali kurasakan adalah gejolak beku yang menggerogoti lutut hingga ke tumit kaki. Rerumputan laut dan alga masuk ke dalam mulutku, dan aliran air menyumbat jalan pernapasanku. Sungguh sesak rasanya, seakan paru-paruku adalah tungku api yang sedang menguap yang menimbulkan hawa panas sampai ke lubang hidung. Pandanganku sudah kabur, namun kulihat dengan samar sesuatu sedang mendekat. Seluruh indraku tidak berfungsi, namun telingaku hanya menangkap suara dari dalam diriku. Suara itu berbunyi, meneriakkan namaku.
“Naja! Tak kusangka itu kau, Naja!” Aku tidak bisa melihat apapun, namun pendengaranku tetap menangkap teriakan-teriakan itu. Apakah itu Bjarki? Pikirku, tapi tidak kurasakan ataupun yang kulihat itu Bjarki. Suara itu semakin nyaring di dalam kepalaku, “Naja! Ttolong aku Naja! Ayah menghukumku lagi, Naja!” Semakin suara itu terdengar di telingaku semakin panas kurasakan tubuhku. Bekas sundutan cerutu ayahku membakar lenganku. Sesuatu yang mendekat itu bukan Bjarki, tapi seekor narwhal yang berusaha menggapaiku dan mengejarku. Narwhal tersebut seperti ingin membayar tuntas apa yang telah aku dan adikku lakukan dengan keluarganya selama ini, dan sepertinya benar. Dia datang bukan dengan maksud baik untuk mengeluarkanku dari deritaku ini. Sepertinya dia hanya ingin mempercepat proses siksa nerakaku. Yang kulihat untuk terakhir kalinya, di dalam laut yang gelap itu adalah moncong narwhal yang sudah bersatu dengan tubuhku dan tanduknya yang sudah melubangi dadaku. Seketika seluruhnya gelap. Hampa, tanpa kejadian selanjutnya.
***
Ada seseorang selain aku yang muncul di rerumputan sabana tanpa tubuh ini. Satu-satunya tubuh yang kukenal adalah aku, dan juga arwah-arwah yang damai menjelma sebagai jelai yang menghiasi padang rumput ini. Mustahil kata mereka ada jiwa yang masuk ke sini tanpa ada urusan yang sudah terselesaikan. Tetapi mungkin saja apabila kupertimbangkan diriku adalah satu-satunya yang juga belum menyelesaikan pertanyaanku akan kehendak alam yang menempatkanku di sini.
Para tetua itu bilang bahwa ini adalah tempat subur bagi jelai-jelai yang semasa hidupnya adalah orang yang memiliki nurani polos dan rapuh tubuhnya, tetapi berhasil menelusuri kebenaran dari kehidupan. Dan pohon-pohon jarang di daerah stepa itu, adalah bekas jelai yang mampu mengendalikan nurani mereka, dan telah mengenal takdir mereka di sabana kehidupan ini. Aku di sini, sebenarnya tidak pantas juga berada di sini. Sabana ini adalah tempat mereka yang menyerahkan nyawa dan sudah mengerti jawaban akan hidup mereka. Sedangkan aku, mati pun masih penuh dengan tanya. Namun, kehadiran gadis Inuit itu menimbulkan kerinduan akan memiliki hidup yang bahkan tidak berani aku pintakan kepada sang empunya alam.
Dahulu aku adalah seorang anak hasil perkawinan sedarah dari orangtuaku, mereka adalah orang yang memiliki sekte di daerah pedalaman. Aku dilahirkan cacat di bagian mata sehingga aku buta dari lahir. Kerapuhanku ini dimanfaatkan oleh para tetua pendeta untuk dijadikan seorang peramal alam. Mereka menamaiku Arun, yang berarti cahaya. Tetua berkata bahwa penglihatanku adalah anugerah yang diberikan alam untuk dapat menyaksikan keindahan di antara jiwa-jiwa yang tercemar. Aku bertanya-tanya, bahkan aku tidak dapat melihat apa-apa dan kusadari jiwa-jiwa yang tercemar itu adalah para tetua pendeta, omong kosong pikirku. Kata mereka bahwa keindahan itu dapat dilihat setelah aku mengorbankan tubuhku, maka alam akan memilihkan dunia baru untukmu setelah kehidupanmu yang satu ini.
Aku tidak bisa memilih takdirku sendiri, lagi pula aku hanya seorang buta yang terjebak di perkumpulan orang kolot. Apa boleh buat aku sudah diasuh mereka sejak mereka merebutku dari orangtua kandungku. Terkadang aku penasaran apa rasanya memiliki ayah dan ibu. Mungkin saja pengorbanan ini dapat berbuah sesuatu yang lain. Mungkin di akhir ajalku, aku dapat bertemu dengan mereka.
Hidup terasa hanya terlintas seperti cahaya ketika pengorbanan itu terlaksana. Yang terlintas di pikiranku adalah penyesalan. Aku merasa bodoh dan baru terpikir olehku untuk lari di saat terakhirku. Tapi terlambat sudah. Dimulai dengan para tetua yang memasukkan humus lewat kerongkonganku untuk menanam bunga seruni dari paru-paruku, mereka menyiraminya dengan seduhan jamu akar rotan dan air sawah. Mereka bilang jamunya untuk meredakan rasa sakit, namun yang terjadi airnya meresap ke humus dan gara-gara ramuan itu aku jadi tidak sadarkan diri. Mabuk aku jadinya.
Sisa dari ritual kurban itu adalah diriku yang tertidur dan dengan sekejap terbangun, berhasil melewati kehampaan hingga akhirnya berada di dunia yang berseberangan. Para tetua menjanjikan keindahan tapi yang kudapatkan adalah perasaan sepi dan kejenuhan yang secara ironis terasa damai. Aku juga bisa melihat tubuh lamaku yang sudah diposisikan dan diawetkan menjadi pot tanaman bunga seruni, dengan bunga tumbuh mekar lewat mulut—-… tTunggu! Akhirnya aku bisa melihat!
Waktu tidak bekerja seperti biasanya di sabana ini. Sekejap aku dilahirkan kembali di sini, sekejap kemudian aku sudah seumur dengan tubuh lamaku. Rasanya sudah bertahun-tahun aku berada di sabana ini, namun seperti baru hari kedua ketika aku bertemu dengan Naja. Semenjak Naja hadir, salju ikut turun menyambut penghuni baru alam sabana ini.
***
Aku terbangun. Rasanya seperti terlahir di tubuh yang berbeda. Sebenarnya sama, namun kutelaah luka akibat cerutu ayah juga tidak membekas. Aku berhasil menuju ke seberang, namun tidak kutemui tanda-tanda keberadaan Bjarki. Apakah dia tidak sampai ke sini juga?
“Malina! Kutemukan juga kau adikku!” Seorang pria menghampiriku. Dia memanggilku Malina, dan tiba-tiba rasanya seperti alam meminjam tubuhku. Wajahku berkilau sekuning sinar matahari. Kurasakan mataku mengeluarkan cahaya seterang arunika ketika dia, yang juga kupanggil … Anningan, mendekapku hangat. Namun, di satu waktu hal tersebut tidak pernah terjadi di tubuhku dan di tubuh pria itu, dia bukan Anningan, dan aku bukan Malina. Pria itu adalah Arun dan aku adalah Naja. Terjebak di suatu takdir yang dikehendaki alam, tubuh kami dipergunakan oleh alam untuk menyeimbangkan segala yang terjadi di padang sabana ini. Ketika kutemukan Arun memanggilku Malina, rupanya seperti cahaya malam. Kulitnya pucat dan memberikan hawa kehangatan yang tidak pernah kurasakan sebelumnya.
Namun, sesuatu terjadi. Setelah dekapan yang terjadi, seakan aku terjebak di lingkaran waktu. Di sebuah kenyataan yang berbeda. Aku tidak mengenalnya sebagai pria pucat yang kupanggil Anningan lagi. Arun memiliki mata pucat, namun memiliki wajah yang memiliki cahaya yang bahkan membuat rembulan iri ketika melihatnya terlelap di peraduannya. Lalu hal yang terjadi setelahnya adalah gerhana., Yya, sebuah gerhana yang menyelimuti awan-awan kelam di langit sabana di mana rerumputan jelai menangis menandakan ada terjadinya perpisahan.
Perpisahan di dunia orang mati? Mendengar kata perpisahan tersebut, tebersit dari dalam kalbu tentang kepergian adikku. Seakan keberadaan gerhana muncul bukan karena memang seharusnya terjadi. Di Nuuk, orang-orang percaya bahwa rembulan dan matahari adalah saudara dan saudari yang menjalin kasih yang tidak sengaja. Sang rembulan mengejar saudarinya hingga mereka melesat sampai ke pusat semesta. Mereka hanya bisa berlari sampai salah satu dari mereka dapat bertemu dan berdekapan di satu titik di jagad surya untuk menunjukkan kelahiran dari hubungan mereka, yaitu gerhana[5]. Dan aku percaya rembulan itulah Anningan, dan Malina adalah matahari. Lewat tubuhku dan Arun, gerhana diciptakan. Kekosongan dan tanda tanya akhirnya terisi dengan sesuatu yang menjawab arti keberadaan kami di sini. Kami terlahir di dunia di mana orang-orangnya sama-sama terjajah oleh kesombongan sendiri, di mana mereka merasa dirinya yang mampu mendikte hidup dan mati orang-orang yang mereka pikir adalah golongan rendahan. Sesat pikir yang membuat orang paling bodoh menindas yang mereka nilai lebih bodoh lagi.
[1] Nuuk: Ibukota dari Greenland, dimana dari bulan Januari hingga Agustus, mataharinya bersinar selama 20 jam setiap harinya.
[2] ‘Negara Paling Bahagia’ yang dimaksud adalah Denmark yang sejak tahun 1979 menjadi pemilik tidak langsung wilayah Greenland. Julukan tersebut mungkin tidak dirasakan oleh sebagian rakyat asli yang tinggal di provinsi tersebut, mengingat angka kasus bunuh diri di Greenland cukup tinggi.
[3] Arunika: sinar matahari pagi.
[4] Narwhal: hewan laut sejenis lumba-lumba yang memiliki gigi yang menyerupai tanduk dan berada di luar moncongnya.
[5] Malina dan Anningan: sebuah cerita rakyat yang menjadi budaya suku Inuit untuk menceritakan kisah terjadinya pergantian siang dan malam dan juga bagaimana terjadinya gerhana. Mitologi ini juga dapat ditemukan di kepercayaan hindu yang menggambarkan mereka sebagai Dewa Matahari dan Dewa Bulan.