Dongeng Resmi ala Fadli Zon: Penyangkalan Pemerkosaan Massal hingga Kontroversi Hari Kebudayaan

Fadli
(lppmsintesa.com/Farrel)

Belum genap satu tahun setelah pelantikannya, Menteri Kebudayaan Fadli Zon telah memantik polemik melalui kebijakan dan pernyataan yang sarat tendensi politis. Pernyataannya yang menyangkal pemerkosaan massal terhadap perempuan Tionghoa dalam tragedi Mei 1998 merupakan bentuk pengingkaran terhadap pelanggaran HAM yang nyata dan terdokumentasi. Hal ini sejalan dengan upaya penulisan ulang sejarah yang berisiko mengaburkan bahkan menghapuskan lembaran-lembaran kelam dalam sejarah bangsa. Memperlakukan sejarah sebagai ruang yang dapat dikoreksi demi kepentingan penguasa adalah upaya pembungkaman ingatan kolektif bangsa. 

Tak berhenti di situ, melalui Keputusan Menteri Kebudayaan Nomor 162/M/2025, Kementerian Kebudayaan menetapkan 17 Oktober sebagai Hari Kebudayaan Nasional. Alih-alih berpijak pada peristiwa sejarah budaya penting dalam kebudayaan Indonesia, Hari Kebudayaan Nasional justru bertepatan dengan hari lahir Presiden Prabowo Subianto. Penetapannya, yang hanya didasarkan oleh usulan sekelompok kecil tanpa adanya diskusi mendalam dengan seniman dan budayawan dari daerah lain mengindikasikan adanya kepentingan tertentu. Landasan pemilihan tanggal tanpa dasar historis yang kuat dan transparan memberikan kesan sebagai “jilatan” semata terhadap kekuasaan. Ketika hari kebudayaan direduksi menjadi panggung simbolik untuk kepentingan pencitraan politik, maka yang sedang dilakukan bukanlah perayaan, melainkan penyeragaman.

Sejarah Versi Penguasa

Fadli Zon menyampaikan rencana penerbitan sebuah “buku babon” sebagai hasil penulisan ulang sejarah, yang dirancang sebagai “hadiah” untuk peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-80. Buku ini direncanakan menjadi referensi utama dalam pembelajaran sejarah di jenjang pendidikan dasar hingga menengah. Kebijakan ini tentu akan berpengaruh besar terhadap cara masyarakat Indonesia memahami sejarah bangsanya. Agenda penulisan ulang sejarah ini sudah dimulai sejak Januari 2025. Selain itu, kerangka  konsep penulisan “Sejarah Indonesia” telah dikeluarkan. Namun apabila dilihat pada kerangka konsepnya, justru cenderung memunculkan kekhawatiran. Alih-alih merekonsiliasi masa lalu, kerangka yang dibuat terkesan memenuhi kebutuhan kekuasaan. 

Berdasarkan kerangka konsep “Sejarah Indonesia” terdapat pengubahan tafsir dan kekosongan peristiwa. Sebagai contoh, dalam Jilid 9 yang membahas masa Orde Baru (1967–1998), penolakan masyarakat terhadap kekuasaan direduksi menjadi “Reaksi terhadap Pembangunan”. Narasi ini mengaburkan fakta ketika penolakan pemerintahan dianggap sebagai perlawanan terhadap niat baik pembangunan oleh negara. Kemudian, kekosongan peristiwa jelas dapat dilihat pada gap dari masa transisi Orde Baru menuju masa Reformasi. Pada kerangka konsep hanya Peristiwa Talangsari 1989, lalu langsung melompat ke masa Reformasi. Padahal, dekade 1990-an adalah masa penuh gejolak yang melahirkan reformasi, seperti krisis ekonomi 1998, gelombang demonstrasi mahasiswa, dan berbagai peristiwa pelanggaran HAM yang belum selesai hingga hari ini. Beberapa peristiwa lainnya yang absen dari penulisan ulang sejarah meliputi Konferensi Asia Afrika 1995, Kongres Perempuan Pertama 1928, serta berbagai tragedi kemanusiaan yang belum selesai hingga hari ini.

Menulis ulang sejarah dalam tone “positif” seperti yang diinginkan Fadli Zon akan berujung pada pengaburan fakta dan penyesuaian narasi sesuai “pesanan” sebagai alat legitimasi. Padahal sejarah pada dasarnya bukan sekadar rentetan peristiwa masa lalu, bukan hanya glorifikasi masa lalu. Ini mengandung harapan, pelajaran, dan luka yang selayaknya hadir dalam narasi bangsa tanpa dipilih berdasarkan kepentingan kekuasaan. Jika sejarah hanya ditulis untuk menyenangkan penguasa, maka yang lahir bukan ingatan kolektif, melainkan dongeng resmi yang melupakan suara korban dan mengkhianati kebenaran.

Penyangkalan “Pemerkosaan Massal” dalam Tragedi Kerusuhan Mei 1998

Indonesia memiliki sejarah panjang soal bagaimana tubuh dan seksualitas perempuan digunakan sebagai kambing hitam setiap kali ada masalah yang mengganggu stabilitas negara. Tak terkecuali dalam tragedi kerusuhan Mei 1998. Pada masa Orde Baru, tubuh perempuan etnis Tionghoa menjadi arena teror antara militerisme, rasisme, dan patriarki. Tubuh perempuan etnis Tionghoa digunakan sebagai senjata untuk mengirimkan pesan kekuasaan. Temuan Tim Gabungan Pencari Fakta (TPGF) tahun 1998 melaporkan ada 85 orang perempuan korban kekerasan seksual yang meliputi kasus pemerkosaan, penganiayaan, penyerangan seksual, dan pelecehan yang terjadi di jalan, di dalam rumah, di dalam tempat usaha. Lokasi pemerkosaan terkonsentrasi di daerah-daerah yang mayoritas dihuni oleh orang Tionghoa, diantaranya Medan, Surabaya, Jakarta dan sekitarnya. Dalam sejarahnya, peristiwa ini dikenal sebagai “Pemerkosaan Massal 1998.”

Fadli Zon sebagai Menteri Kebudayaan ketika diwawancarai oleh IDN Times mengatakan bahwa pemerkosaan massal dalam kerusuhan Mei 1998 adalah rumor dan tidak pernah dicatat dalam buku sejarah. Pernyataan ini menunjukkan adanya upaya penghapusan memori sejarah. Ini bukan lagi soal angka, pemerkosaan yang menyasar etnis tertentu dengan target dan lokasi yang jelas merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan. Disitulah peristiwa ini menjadi “pemerkosaan massal”. TGPF merupakan lembaga bentukan pemerintah pada masa BJ Habibie yang resmi untuk memverifikasi kebenaran atas pemerkosaan massal ini. Penyangkalan atas peristiwa sejarah ini sama saja mendiskreditkan kerja TGPF dan menghapus sejarah berdirinya Komnas Perempuan yang lahir dari semangat reformasi.  

Tidak pernah ada penyelesaian hukum atas peristiwa sejarah kelam ini. Bahkan, tidak pernah ada pengungkapan kebenaran dan pertanggungjawaban negara untuk memenuhi tuntutan keluarga korban yang memperjuangkan keadilan selama bertahun-tahun. Alih-alih memberi pengakuan atas sejarah kelam dari tragedi pemerkosaan massal 1998 untuk dituliskan dalam sejarah Indonesia, pemerintah justru berupaya merusak ingatan kolektif bangsa. Seolah-olah sejarah dilipat sesuai selera kekuasaan. 

Mantan anggota tim asistensi TGPF Peristiwa Kerusuhan Mei 1998, Sri Palupi menyampaikan dalam video wawancara bersama Tempo “Fakta Pemerkosaan Mei 1998,” bahwa pola pemerkosaan massal 1998 sama dengan kerusuhannya. Sebelum ada pemerkosaan massal, terdapat pengkondisian massa yang dilakukan oleh oknum berambut cepak dan bersepatu boot. Ini menunjukkan bahwa pemerkosaan ini bukan sekadar kejahatan seksual acak, tetapi menunjukkan unsur terencana, bermuatan rasial, dan politis. 

Penyangkalan istilah “pemerkosaan massal” dalam tragedi Mei 1998 oleh Menteri Kebudayaan, Fadli Zon tidak mengubah apapun. Kekerasan terhadap perempuan dimanapun itu adalah kejahatan terhadap kemanusiaan. Korban tidak diberikan wadah dan direpresentasikan semestinya dalam narasi sejarah yang akan ditulis ulang oleh penguasa. Pemerintah hari ini seharusnya menjadi pihak yang paham betul tentang fakta sejarah pemerkosaan massal 1998 karena merekalah pihak yang harus bertanggung jawab atas terjadinya peristiwa ini. 

Hari Kebudayaan Nasional atau Hari Lahir Atasan?

Terakhir dan terbaru, Fadli Zon menetapkan Hari Kebudayaan Nasional (HKN) yang jatuh pada 17 Oktober melalui Keputusan Menteri Kebudayaan Nomor 162/M/2025. Disengaja atau tidak, yang pasti 17 Oktober juga bertepatan dengan hari lahir Presiden Prabowo Subianto. Penetapan tanggal tersebut menuai banyak polemik, bukan hanya tentang pemilihan tanggal, namun juga tentang urgensinya.

Pemilihan tanggal 17 Oktober diusulkan oleh sembilan seniman termasuk kader Partai Gerindra dari Yogyakarta yang tergabung dalam Tim 9 Garuda Plus. Alasannya tanggal tersebut merujuk pada hari pengesahan Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 1951 tentang Penetapan Lambang Negara, yakni 17 Oktober 1951. Dilansir dari Tempo, Fadli menilai hari itu adalah momen penting peresmian Garuda Pancasila sebagai lambang negara dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai identitas bangsa. Ironisnya, sebagai pelayan rakyat dari bangsa yang besar, Fadli Zon hanya mendengarkan suara 9 orang dengan latar belakang kebudayaan Jawa tersebut.

Bukan hanya itu, sejak awal dipilihnya 17 Oktober sebagai HKN pun tidak relevan. Bagaimana bisa tanggal pengesahan sebuah kebijakan politik menjadi hari diperingatinya kebudayaan nasional. Selain itu, penetapan HKN seharusnya tidak dilakukan secara sepihak dan berdasar usulan segelintir kelompok. Pandangan dan suara kelompok lain diluar pihak pengusul sangat penting untuk menjaga ruang partisipasi dan menghindari kepentingan politik tertentu. Namun jika memang tujuannya hanya untuk menyenangkan dan mengingat hari lahir sang atasan, Fadli Zon sukses besar membalutnya dengan tema kebudayaan nasional.

Dengan demikian, rentetan kebijakan nyeleneh Fadli Zon bukan hanya menghianati kebenaran, tetapi juga memamerkan wajah kekuasaan yang gemar memanipulasi ingatan kolektif bangsa. Jika sejarah dijadikan alat legitimasi penguasa dan kebudayaan dijadikan panggung memoles citra, maka cita-cita pelestarian nilai-nilai luhur bangsa takkan pernah tercapai. Oleh karena itu, negara seharusnya berani untuk mengakui kesalahan masa lalu, bukan menghapusnya dengan narasi palsu.

guest
0 Komentar
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments