Oleh: Sulistyorini Wahyu Lestari
“Mamakk, Alim dapat ikan lagi.”
“Kenapa baru pulang jam segini? Mandi dulu sana, panggil kakakmu itu suruh bantu mamak masak.”
Anak laki-laki itu berjinjit menaiki tangga rumahnya. Diletakannya dua ekor ikan hasil tangkapannya sore itu di baskom. Bajunya basah akibat air laut yang bercampur keringat.
“Kak Anin dipanggil mamak!!”
“Iya, sebentar.” Sedetik kemudian muncul sulung keluarga itu. Rambutnya masih basah selepas mandi, ditatapnya adik terakhirnya itu.
“Baunyaaa, mandi sana!”
Anak laki-laki itu hanya terkekeh pelan dan berjalan menuju kamar mandi.
Rumah panggung itu dihidupi empat manusia yang memiliki ikatan darah. Keluarga kecil yang hidup seperti kebanyakan keluarga nelayan di pesisir pantai lainnya. Sang ayah yang pergi melaut di malam hari dan muncul di depan pintu rumah keesokan harinya, lalu mamak yang menjadi perempuan tertua di keluarga itu sehari-harinya membuat kue basah untuk dijual di pasar kampung. Suami dan istri itu dikaruniai dua anak yang usianya tak jauh beda. Anin, si sulung yang kini tumbuh menjadi gadis tanggung dan Alim, si bungsu yang hari-harinya dihabiskan dengan bermain di pesisir laut. Anin kini genap berusia sembilan tahun, terpaut tiga tahun dari Alim yang kini berusia enam tahun.
Kampung yang mereka tinggali itu hanya berjarak dua kilometer dari pesisir pantai. Suara ombak laut bisa terdengar kapan saja dari teras rumah. Jika waktunya air laut pasang, penduduk kampung itu lebih siap siaga dari biasanya atau saat gempa bumi melanda tanah mereka beberapa tahun lalu. Hidup di sekitar laut menjadikan manusia-manusia di sana lebih waspada. Tidak tahu kapan bencana besar itu terjadi di masa mendatang.
Makan malam kali ini jauh lebih istimewa dari biasanya. Mamak dengan tangan ajaibnya, memasak udang galah yang dibelinya siang tadi di pasar. Kebetulan mamak baru saja mendapat pesanan untuk acara besar, jadi untung yang didapatkan lebih banyak dari penjualan biasanya. Ikan yang ditangkap Alim tadi pun sudah dimasak mamak menjadi ikan bakar lengkap dengan sambal. Jarang-jarang mamak memasak sebanyak ini. Orang yang paling senang tentu saja si bungsu, Alim yang gemar makan. Terlebih, udang galah adalah makanan favoritnya. Mungkin dua piring bisa saja dihabiskan Alim untuk makan malam ini.
“Kemarin mamak dengar ada orang kota mau mengajar anak kampung sini.” Mamak membuka percakapan di tengah makan malam itu.
“Program kuliah-kuliah itu?” Suara ayah yang berat itu menyahuti perkataan mamak.
Anin dan Alim hanya terdiam dan menyimak percakapan kedua orangtua mereka. Selain tidak mengerti apa yang dibicarakan oleh orangtuanya, kedua anak itu sibuk memakan udang galah dengan lahap. Bahkan Anin yang biasanya hanya makan sedikit, kini sudah mengambil satu sendok nasi lagi. Masakan mamak memang tidak ada duanya.
“Anin, besok ikut, ya.” Mata Anin yang tadi masih fokus dengan piring dihadapannya kini beralih pada ayahnya.
“Ikut apa, yah?”
“Pergi ke balai kampung. Ikut belajar.”
“Alim mau ikut juga!!” Alim yang mendengar kata ‘balai kampung’ mendadak antusias.
“Alim di rumah aja, temenin mamak.”
“Gak mauuu… Alim mau ikut Kak Anin, maaak.” Alim merajuk.
“Kak Anin mau belajar, nanti Alim malah ganggu kakak.”
“Alim nanti nurut Kak Anin, maak. Alim mau ikut.”
Ayah menghela nafas. Jika Alim sudah merajuk begini, berarti tidak ada kata lain untuk melarangnya. Lagi pula ikut kakaknya belajar di balai kampung juga bukan hal yang membahayakan.
“Iya iya. Alim ikut Kak Anin, tapi jangan ganggu orang di sana, ya.”
“SIAAP, YAH.” Senyum Alim kembali merekah. Hilang wajah merengutnya yang ditunjukannya tadi.
***
Sepuluh manusia dengan almamater warna senada itu muncul dari balik pintu bus yang mengantar rombongan dari kampus mereka. Kedatangan mereka disebabkan kegiatan amal bakti yang wajib dari kampus tiap tahunnya. Awalnya, kampung nelayan ini tidak menjadi tujuan utama kegiatan ini, tapi menjelang hari keberangkatan, pihak kampus memindahkan kegiatan amal bakti ke kampung nelayan ini.
“Adik-adik ini nanti bisa istirahat di rumah yang ada, kalau sudah selesai menata barangnya nanti bisa berkumpul di balai kampung, ya.” Pak Lurah selaku pihak petinggi kampung itu menyambut rombongan dengan ramah. Kemudian diajaknya rombongan itu pergi ke rumah yang disebutkannya tadi.
Mungkin bagi sebagian anggota rombongan itu asing sekali dengan wilayah perkampungan dekat pantai. Belum lagi bau ikan yang dijemur di depan rumah warga cukup menyengat di hidung mereka. Suatu hal yang belum pernah mereka rasakan sebelumnya.
“Kalau kalian mau ikut liat-liat nelayan di sini pas ke laut, boleh sekali main ke laut kalau sore.”
“Di sini semuanya nelayan, Pak?”
“Kebanyakan nelayan, tapi ada juga yang jadi peternak. Kandang hewan ternaknya kalau gak di rumah sendiri, biasanya agak jauh dekat pasar.”
Sesampainya di rumah yang menjadi tempat tinggal sementara untuk rombongan itu, Pak Lurah buru-buru pamit. Katanya ada pekerjaan lain yang mesti dilakukannya. Sepeninggalan Pak Lurah, sepuluh mahasiswa itu menikmati angin yang cukup kencang pagi itu. Akhir-akhir ini memang langit lebih gelap dari biasanya, walau belum sempat turun hujan dari kemarin.
***
Pagi-pagi sekali Anin sudah rapi dengan baju terusan yang hanya dipakainya saat bepergian saja. Alim dengan senyum lebarnya berdiri tegak di hadapan mamak yang sibuk menyisir rambutnya yang masih basah itu. Sejak subuh tadi keduanya sudah bangun dengan semangat. Anin tidak dapat menyembunyikan wajahnya yang bahagia sejak diberi kabar ini oleh ayah. Bagi Anin yang sudah lama putus sekolah, kembali belajar menjadi salah satu kebahagiaan yang lama tidak dirasakannya. Anin selalu senang saat mendengar orang lain menceritakan apa saja hal-hal yang belum pernah ia dengar sebelumnya. Anin senang ketika mendengar pengetahuan yang tidak pernah dibayangkan oleh dirinya. Mendapat kesempatan itu, tentu Anin bagai mendapat doorprize tujuh belas Agustus.
Berbeda dengan bungsu, Alim hari ini hanya ingin pergi ke balai kampung yang baginya adalah tempat menyenangkan seantero kampung. Maklum, dalam bayang-bayang Alim, balai kampung tidak lebih dari tempat di mana ada banyak pedagang yang menjual jajanan dan mainan yang sering dilihatnya saat bermain dengan teman-temannya. Alim juga suka saat suara mikrofon mulai terdengar memenuhi balai kampung. Alim selalu senang dengan suasana ramai yang tercipta dari balai terpenting di kampung itu.
“Hati-hati di jalan. Dengarkan baik-baik kakaknya. Alim nurut sama Kak Anin, ya.” Mamak mengantarkan kedua anaknya itu hingga depan pintu. Masih ada pesanan yang harus ia selesaikan.
“Assalamu’alaikum. Pamit dulu, Mak!” Keduanya melambaikan tangan sembari berjalan menuju balai kampung pagi itu.
Anin terus menggandeng tangan Alim saat keduanya sampai di balai kampung yang ramai hari ini. Anin menatap deretan pemuda yang tak ia kenali wajahnya itu. Dalam hati, Anin menebak mungkin itu orang kota yang dibicarakan ayah tempo hari.
“Kakak, duduk.” Alim menarik tangan Anin menuju barisan kursi plastik yang sudah ditata rapi.
Pagi itu banyak sekali orang di balai kampung. Selain pemuda tanggung yang tidak dikenali Anin atau mahasiswa dari kampus di kota itu, ada banyak ibu-ibu yang menemani anaknya. Ada juga beberapa bapak-bapak yang hadir di balai kampung pagi itu.
“Halo, adek. Namanya siapa?” Anin terkejut saat seorang mahasiswa menghampiri dirinya dan Alim.
“Anin….” Anin mencicit pelan sembari terus menggenggam tangan Alim, seakan Alim akan lari darinya.
“Alim! Alim!” Alim yang tanpa ditanya dengan senang hati menyebutkan namanya sembari mengangkat tangannya.
“Ooohh, ini kakak adik, ya?” Orang itu menatap Anin dan Alim bergantian.
“Iya, Kak…”
“Kenalin, aku Santika. Anin sama Alim duduk di sini aja, ya. Biar keliatan.” Santika menunjuk beberapa kursi bagian depan yang masih kosong. Anin dan Alim hanya mengangguk lalu berjalan menuju kursi yang ditunjukkan tadi.
“Alim nanti jangan ribut, ya. Dengerin aja.” Anin berbisik pelan pada Alim yang duduk manis di sampingnya. Adiknya itu hanya mengangguk dengan senyum lebar yang masih menghiasi wajahnya.
Tak lama, acara itu dimulai dengan seseorang perwakilan mahasiswa yang berdiri di tengah. Pembukaan acara pagi itu cukup lama hingga membuat Anin beberapa kali menahan kantuknya. Anin tidak terlalu paham dengan rentetan kalimat yang diucapkan orang-orang di hadapannya ini, ia hanya mengerti beberapa kali nama Pak Lurah disebutkan dan kata ‘belajar’.
“Langsung saja, kegiatan pengajaran pagi ini kami mulai. Adik-adik yang hadir mungkin bisa pindah ke area yang sudah digelar tikar.”
Melihat anak-anak di sekelilingnya berdiri, Anin segera bangkit dari kursinya. Tangannya menarik Alim agar ikut berdiri dan berjalan menuju tikar yang sudah digelar itu.
“Kita mau ngapain, Kak?” Alim menatap kakaknya itu.
“Kita mau belajar. Nanti Alim dengerin, ya.” Alim hanya mengangguk pelan.
“Teman-teman, kita hari ini mau belajar tentang cita-cita! Ada yang tau gak apa itu cita-cita?”
Beberapa anak mengangkat tangan dengan antusias, salah satunya Anin.
“Cita-cita itu besok kalau besar mau jadi apa, Kak!!” ucap anak yang ditunjuk oleh mahasiswa itu.
“Namanya siapa?”
“Andi, Kak.”
“Andi besok kalau besar mau jadi apa?”
“Jadi masinis, Kak!”
“Waaah, keren-keren.”
Kegiatan belajar pagi itu kemudian dibagi menjadi beberapa kelompok. Anin tentunya bersama Alim, keduanya memutuskan mendekati tiga orang anak yang duduk di dekat mereka. Anin kenal anak-anak itu, beberapa kali berjumpa saat Anin pergi ke pasar.
“Halo adik-adik!” Salah satu mahasiswa menghampiri kelompok Anin dan duduk di antara kelima anak itu.
“Halo, Kak!” Lima anak itu menjawab dengan serempak.
“Kenalan dulu, ya. Nama aku Gita. Nah, kita kenalan satu-satu sambil nyebutin cita-citanya, ya.”
Perkenalan kelompok kecil itu pun di mulai. Anin yang kebetulan duduk kedua sebelum terakhir untuk giliran perkenalan, berpikir tentang cita-cita apa yang akan ia sebutkan. Di kepalanya muncul berbagai profesi yang sebelumnya pernah ia dengar dari cerita-cerita di sekelilingnya.
“Yuk, yang baju merah.” Anin terkesiap saat mahasiswa itu menyebutkan ciri-ciri baju yang dikenakannya.
“Halo, aku Anin… Cita-citaku… Emm… aku mau jadi penjual kue terkenal…”
“Aku Alim! Aku mau jadi nelayan!” Belum sempat mahasiswa itu menanggapi perkataan Anin, Alim sudah menyahuti duluan. Dari wajahnya tidak ada raut merasa bersalah, padahal kelima orang lainnya terkaget-kaget saat mendengar suaranya.
“Anin sama Alim kenapa mau jadi itu? Alim kenapa mau jadi nelayan? Kenapa gak mau jadi dokter atau polisi? Kalau Anin kenapa gak mau jadi yang lainnya?”
“Laah, emang gak boleh, ya, Kak jadi nelayan?” Alim menekuk wajahnya, walau dalam hatinya juga penasaran.
“Ya, gak apa-apa, tapi kalian gak mau punya cita-cita yang juga hebat kayak yang lain?”
“Cita-citaku hebat, kok, Kak.” Anin membalas. Hatinya sedikit tersinggung saat mahasiswa itu melontarkan pertanyaan yang seolah mempertanyakan kehebatan dari seorang penjual kue.
“Cita-citaku juga hebat, Kak!” Alim menirukan perkataan kakaknya.
“Semua cita-cita itu hebat, Kak. Karena aku sama adikku besar di sini, jadi kita cuma kepikiran cita-cita yang besok juga bisa kita lakukan di sini. Kalau jadi dokter berarti harus pergi jauh, kasian ayah dan mamak kalau berdua saja.”
Mahasiswa itu tertegun. Pikirannya terbayang kata-kata murid yang sedang diajarnya itu.
“Okee, bagus Anin sama Alim cita-citanya. Nah…”
Mungkin mahasiswa itu tersadar, cita-cita yang diidamkan oleh banyak anak di luar sana tidak melulu cita-cita yang juga diinginkan oleh anak-anak di sini, juga… apa-apa yang ada di kota sana sama sekali tidak perlu dipaksakan di sini.