
Sejak Rabu, 14 Mei 2025, Aliansi Mahasiswa Universitas Gadjah Mada menggelar aksi kamping di halaman Balairung UGM untuk menuntut audiensi bersama rektor. Setelah sepekan tidak mendapat tanggapan, pada Rabu, 21 Mei 2025 jajaran rektorat akhirnya menemui massa aksi pada pukul 16.00 WIB. Dalam pertemuan tersebut, mahasiswa UGM menuntut rektorat untuk menyatakan mosi tidak percaya terhadap lembaga penyelenggara negara, menolak militerisme di ruang sipil, mencabut seluruh kebijakan yang berakar dari realokasi anggaran, mewujudkan ruang publik kampus yang inklusif, dan melakukan pembacaan ulang terhadap perangkat pencegahan, penanganan, dan pelaporan kekerasan seksual di lingkungan UGM.
Dalam audiensi tersebut, Ova Emilia rektor UGM menanggapi sejumlah tuntutan yang disampaikan mahasiswa. Ova menilai bahwa tuntutan ini sebagai bentuk kepedulian mahasiswa dalam merespons dinamika sosial dan kebijakan nasional. Namun, Ova menegaskan bahwa institusi pendidikan bukan dalam posisi untuk menyatakan mosi tidak percaya terhadap jalannya lembaga pemerintahan saat ini. Menurutnya langkah ini belum sepenuhnya tepat. Ova memastikan bahwa UGM tetap mendorong pemerintah untuk menjalankan pemerintahan yang jujur dan berpihak pada rakyat.
Sementara itu, Ova tidak memberikan kejelasan terkait tuntutan penyediaan ruang kegiatan layak bagi Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) yang mengalami pengurangan dana pagu. Dalam gelaran audiensi, Ova lebih banyak melemparkan jawaban kepada jajaran rektorat lain yang turut hadir bersamanya. Seorang mahasiswa, Wisnu (bukan nama sebenarnya), turut mengeluhkan ruang kegiatan untuk mahasiswa yang semakin minim. Dia menyebut ruang kegiatan untuk mahasiswa mengalami penggusuran karena pembangunan Gelanggang Inovasi dan Kreativitas (GIK). “Nanti Pak Arie Sujito dapat menjelaskan lebih lanjut tentang ruang yang sudah disediakan untuk kegiatan UKM,” ujar Ova mengalihkan jawaban.
Terkait GIK, seorang mahasiswa mengungkapkan penggunaan GIK yang dikatakan tidak akan dikenai biaya, kenyataannya mahasiswa harus membayar biaya operasional dan sewa. “Teman-teman UKM dimintai tagihan ketika menggunakan fasilitas GIK,” ujar salah satu mahasiswa. Ia menyebutkan bahwa penggunaan GIK tidak inklusif untuk seluruh mahasiswa UGM.
Aliansi mahasiswa UGM menjelaskan bahwa dana kegiatan mahasiswa juga mengalami pengurangan sehingga berdampak pada ruang kreativitas mahasiswa. Disisi lain, UGM menuntut kegiatan mahasiswa atau UKM untuk berprestasi dan mengadakan kegiatan yang bermutu. Hempri Suyatna, Sekretaris Direktorat Kemahasiswaan UGM memberikan penjelasan bahwa UKM yang tidak produktif akan dievaluasi lagi terkait anggaran dananya. “Banyak kegiatan-kegiatan UKM yang kadangkala belum produktif, mungkin akan kita evaluasi lagi terkait konteks anggarannya,” ujar Hempri.
Selain pengurangan dana pagu, mahasiswa juga mengeluhkan penyediaan fasilitas, seperti sekretariat, GOR, dan stadion yang mengalami pengurangan jam operasional. Arie Sujito selaku Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan, Pengabdian kepada Masyarakat, dan Alumni, mengungkap akan mengevaluasi perihal jam operasional fasilitas kampus. “Soal jam dan sebagainya, tentu kita akan evaluasi,” ujar Arie. Salah seorang mahasiswa memprotes bahwa pada hearing rektorat tahun lalu Arie Sujito juga telah mengatakan akan mengevaluasi kebijakan terkait jam operasional ini.

Audiensi yang berlangsung lebih dari dua jam berakhir tanpa pernyataan tegas dipenuhinya sembilan poin tuntutan mahasiswa oleh Ova dan jajaran rektorat. Rombongan mahasiswa yang tidak puas membentuk barikade untuk berusaha menghalangi Ova dan jajaran rektorat lainnya meninggalkan forum audiensi. Insiden saling dorong antara mahasiswa dan petugas Kantor Keamanan Keselamatan Kerja Kedaruratan dan Lingkungan (K5L) pun tak terelakkan.
Penulis: Devita Syaharani
Penyunting: Anastasya Niken Pratiwi