
Identitas Buku
Peresensi: Upik Maulia
Penulis : John Rossa
Penerjemah : Hersri Setiawan
Penyunting : Ayu Ratih dan Hilmar Farid
Judul Buku : Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto
Penerbit : Hasta Mitra
Tahun : 2008
Tebal Buku : 392 hlm; 16 cm x 23 cm
ISBN : 978-979-17579-0-4
Harga : Rp109.760
Membongkar Narasi Orba di Balik Tragedi 1965
Gerakan 30 September 1965 (G-30-S) hingga kini masih menyisakan misteri besar dalam sejarah Indonesia. Pemecahan kasus tersebut akan membawa implikasi yang luas bagi sejarah karena menyangkut pertaruhan dalam “kontroversi tentang dalang” sangat besar. Pandangan tersebut dijelaskan dalam buku Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and Suharto’s Coup d’Etat in Indonesia ditulis oleh John Roosa tahun 2006, profesor sejarah di University of British Columbia. Terjemahan versi Indonesia dengan judul Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto diterbitkan Hasta Mitra Pada tahun 2008. Buku ini tidak menggunakan akhiran “PKI” karena sebagai bentuk jawaban atas pertanyaan tentang siapa sebenarnya dalang gerakan tersebut. Berbanding terbalik dengan pemerintah Orde Baru yang mewajibkan setiap penyebutan G-30-S harus diikuti dengan “PKI” untuk memastikan masyarakat tidak meragukan konstruksi resmi mengenai dalang peristiwa itu.
Buku Roosa berupaya untuk “mendobrak” pemikiran stereotip basi karangan rezim terdahulu. Sepanjang rezim Soeharto, PKI digambarkan sebagai antagonis sehingga tidak mungkin masyarakat memahami bagaimana partai itu pernah sedemikian populer dengan jutaan anggota serta simpatisannya. Roosa dalam bukunya menekankan anggota PKI sebenar-benarnya manusia, bukan setan, dan memiliki karakter moral yang tidak lebih baik atau lebih buruk dibandingkan dengan orang-orang di Indonesia. Ia menjelaskan kesulitan sejarawan dalam memahami peristiwa G-30-S karena gerakan tersebut sudah kalah sebelum kebanyakan masyarakat Indonesia mengetahui kebenarannya. Sekalipun setelah para pemimpin kunci tertangkap, mereka tidak bisa mengungkap banyak hal. Hanya kesaksian di depan pengadilan yang dikenal sebagai Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) yang lebih menunjukkan keterdesakan untuk menolak segala dakwaan dibandingkan menjelaskan bagaimana dan mengapa G-30-S dilakukan.
G-30-S Sebagai Dalih
John Roosa menjelaskan bahwasanya peristiwa G-30-S sebagai peristiwa yang relatif berskala kecil di Jakarta dan Jawa Tengah dan sudah berakhir paling lambat 3 Oktober 1965. Secara keseluruhan gerakan ini telah menewaskan dua belas orang. Namun, buku ini menjelaskan bahwa Soeharto membesarkan peristiwa ini sedemikian rupa sehingga tampak seperti konspirasi nasional yang berkelanjutan untuk melakukan pembunuhan massal. Dari narasi tersebut, jutaan orang dikaitkan berhubungan dengan PKI, sekalipun petani buta huruf disajikan sebagai pembunuh secara kolektif dan bertanggung jawab atas G-30-S. Kondisi ini bukan lagi reaksi wajar terhadap peristiwa G-30-S, tetapi sebagai dalih untuk menegakkan kediktatoran militer. Soeharto perlu menciptakan kondisi darurat nasional dan suasana yang kacau apabila akan menumbangkan seluruh generasi nasionalis. Ini sekaligus untuk menyapu bersih cita-cita kerakyatan Presiden Soekarno. Roosa dalam bukunya menyebutkan alih-alih menyerang istana terlebih dahulu, Soeharto justru menyerang masyarakat dengan kekerasan lalu menginjak-nginjak rakyat yang dicengkram ketakutan dan kebingungan melenggang masuk istana. Ia juga menjelaskan bahwa Soeharto menyangkal bertanggung jawab atas kekerasan massal 1965-1966–pelaku sejatinya jarang mengakui kejahatannya di depan publik.

John Roosa dalam tulisannya juga menjelaskan bahwa Angkatan Darat saat itu memberangus hampir semua surat kabar pada pekan pertama bulan Oktober 1965 dan menerapkan sensor terhadap beberapa surat kabar yang mendapat izin terbit kembali. Pernyataan dari Stanley Karnow seorang jurnalis asal Amerika Serikat dilampirkan, menjelaskan terjadinya pembunuhan besar-besaran di Kota Salatiga, Jawa Tengah. Para petani diperintahkan lurah untuk menggali sebuah lubang besar satu hari sebelumnya. Kemudian, para tawanan dibariskan berdiri di bibir lubang, lalu ditembaki dalam beberapa menit. Beberapa dari mereka barangkali dikubur hidup-hidup. Secara masif surat kabar dan siaran radio saat itu dipenuhi berita palsu, seperti tuduhan bahwa PKI menimbun senjata dari Tiongkok, menggali kuburan massal, menyiapkan daftar target pembunuhan, hingga mengumpulkan alat untuk menyiksa korban. Melalui strategi ini, militer berhasil menciptakan rantai asosiasi yang kuat: G-30-S sama dengan PKI, PKI sama dengan siapa pun yang terkait dengannya, dan seluruhnya disamakan dengan kejahatan mutlak.
Nyatanya, dari apa yang telah disampaikan buku ini, sampai saat ini isu PKI masih kerap dijadikan instrumen dalam pemerintahan. Stigma yang melekat pada PKI terus direproduksi dalam berbagai peristiwa, bahkan dalam ruang akademik. Sebagai contoh ketika polisi menyita simbol PKI di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), Universitas Mulawarman. Penyitaan tersebut dikaitkan dengan temuan bom molotov sehingga memunculkan kesan bahwa simbol PKI masih menjadi ancaman serius bagi keamanan negara. Padahal lukisan itu bukanlah bentuk dari propaganda, tetapi materi pembelajaran sejarah yang seharusnya dipahami lebih kritis. Peristiwa ini menunjukkan bahwa stigma terhadap PKI tidak hanya berfungsi sebagai “bahaya laten” yang terus dipelihara, tetapi juga menjadi sarana untuk mengalihkan perhatian publik dari isu yang lebih krusial. Kasus demonstrasi pada 1 September 2025, misalnya, terasa diarahkan ulang fokusnya kepada penemuan simbol PKI.
Daftar Pustaka
Anshory, W. W. (2025, September 2). Polisi Sita Simbol PKI di FKIP, Unmul: Jangan Salahpahami Aktivitas Akademik Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul “Polisi Sita Simbol PKI di FKIP, Unmul: Jangan Salahpahami Aktivitas Akademik. kompas.com. Retrieved September 29, 2025, from https://www.kompas.com/kalimantan-barat/read/2025/09/02/154500488/polisi-sita-simbol-pki-di-fkip-unmul–jangan-salahpahami?page=all#page2
Rossa, J. (2008). Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto. Hasta Mitra.