G30S dalam Pendidikan Sejarah: Permainan Politik dalam Ilmu Pengetahuan

Judul Buku: Menguak Misteri Sejarah

Penulis: Asvi Warman Adam

Tahun Terbit: 2010

Penerbit: Penerbit Buku Kompas

“Sejarah ditulis oleh pemenang.” Kutipan yang masih belum diketahui pengungkap aslinya hingga sekarang tersebut memiliki makna bahwa pendidikan sejarah tidak pernah sepenuhnya murni. Alih-alih murni, penulisan kurikulum pendidikan sejarah sarat akan politisasi. Hanya mereka yang memenangkan kekuasaan yang memiliki kuasa untuk menulis sejarah. Tidak perlu repot untuk membayangkan perwujudan dari kalimat tersebut. Nyatanya, penjelasan mengenai peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S) dalam kurikulum pendidikan di Indonesia adalah bukti nyata dari kutipan di awal.

Asvi Warman Adam, dalam bukunya berjudul ‘Menguak Misteri Sejarah,’ mengulas bagaimana posisi peristiwa G30S dalam kurikulum pendidikan di Indonesia. Peristiwa G30S masuk ke pendidikan Indonesia pada kurikulum 1984. Kurikulum tersebut mengajarkan Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB) yang bertujuan untuk meyakini siswa bahwa, (1) Penjajahan Belanda menyebabkan penderitaan, (2) Kebenaran perjuangan pahlawan dalam mengusir penjajah, (3) Aksi-aksi PKI merupakan pemaksaan kehendak untuk menghancurkan NKRI, (4) Aksi melawan PKI merupakan pembelaan terhadap kemerdekaan dan keadilan, dan (5) Orde Baru mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat. Edisi pemutakhiran tahun 2008 dari ‘Sejarah Nasional Indonesia’ tahun 1975 terbitan Balai Pustaka juga memuat peristiwa G30S tetapi tidak menyebutkan pembantaian massal 1965-1966 yang memakan korban setidaknya 500.000 korban jiwa.

Pasca Reformasi, perlahan kebenaran mengenai peristiwa G30S mulai terkuak dengan perubahan rezim pemerintahan yang mengklaim akan menjadi lebih demokratis. Pada 12-13 April 2005, terlaksana lokakarya ‘Krisis Nasional 1965’ yang membahas naskah buku rujukan tentang 1965 atas perintah Presiden Megawati. Lokakarya ini penting karena mengungkap berbagai pihak yang mungkin menjadi dalang peristiwa tersebut seperti CIA, TNI AD, Soeharto, dan PKI. Keberadaan Peristiwa G30S dalam kurikulum pun memasuki babak baru tatkala Ketua BSNP Bambang Soehendro pada 2006 menetapkan perlunya “mencantumkan kata PKI setelah Peristiwa G30S sehingga menjadi G30S/PKI” dengan alasan TAP MPRS No. XXV/1966 tentang Pelarangan ajaran Komunisme, Marxisme, dan Leninisme. Ranah yudikatif pun turut andil dalam mengatur kurikulum yang digunakan. Kejaksaan Agung pada 5 Maret 2007 melarang beberapa buku pelajaran karena tidak menyebutkan keterlibatan PKI dalam peristiwa G30S.

Dari ulasan Asvi Warman Adam, kita bisa memetik kesimpulan dasar bahwa perubahan kurikulum pendidikan tidak selalu disebabkan oleh perkembangan ilmu pengetahuan tetapi bisa pula disebabkan oleh kepentingan politik dari kalangan tertentu. Pemerintah Orde Baru menanamkan doktrin bahwa PKI berdosa besar pada negara ini, bahwa komunisme adalah barang haram di negara ini. Seakan-akan negara ini harus dijauhkan dari PKI dan komunisme agar bisa terselamatkan kehidupannya. Sifat diktator dan otoritarianisme Presiden Soeharto pun membuat doktrin tersebut tertanam mengakar dengan kuat dalam kehidupan bangsa Indonesia. Setelah Orde Baru berakhir, nyatanya pengharaman terhadap PKI dan komunisme masih terus berlangsung.

Setiap membahas peristiwa Gerakan 30 September 1965, kita selalu disuapi narasi pembunuhan para jenderal TNI AD yang didalangi oleh PKI. Akan tetapi, narasi tersebut pun masih tidak bisa dibuktikan kebenarannya. Bahkan, dalam sidang Mahkamah Militer Luar Biasa, para terdakwa peristiwa G30S tidak menyebutkan PKI sebagai dalang pembunuhan para jenderal. Kita justru melupakan fakta bahwa peristiwa 1965 lebih dari perdebatan narasi dosa PKI pada negara. Kita tidak mengingat adanya pembantaian massal secara sadis terhadap orang-orang yang ‘dianggap’ berafiliasi dengan PKI dan simpatisan Soekarno. Tidak ada yang benar-benar bisa membuktikan bahwa semua yang dibunuh pada 1965-1966 adalah simpatisan PKI dan Soekarno. Pembantaian terjadi dengan tidak memandang bulu. Lalu, siapakah sebenarnya yang berdosa? PKI pada negara ini, atau negara yang justru berdosa pada rakyatnya?

Referensi

Adam, Asvi Warman. (2010). Menguak Misteri Sejarah. Penerbit Buku Kompas.

Melawan Lupa Metro TV. (2018, 21 September). Melawan Lupa – Kesaksian dari Meja Mahmilub [Video]. YouTube. https://www.youtube.com/watch?v=i3OMYufMRUE

guest
0 Komentar
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments