Bagian 1
Pagi menuju siang itu cukup terik ketika kami–Aldi, Daffa, dan Sekar–menempuh perjalanan, menembus keramaian Jogja menuju Dusun Jomboran. Setelah berkendara sekitar 40 menit, kami sampai di lokasi yang sebelumnya telah dibagikan melalui aplikasi Whatsapp oleh Mas Tandi, perwakilan dari Paguyuban Masyarakat Kali Progo. Di bawah naungan rumah bercat oranye yang di halamannya terparkir sebuah truk hijau itulah kami kemudian bercengkrama mengenai perlawanan masyarakat Dusun Jomboran, Desa Sendangagung, Minggir, Sleman, melawan dua korporat pertambangan pasir dengan izin yang bermasalah.
***
“Dari awal, proses mekanisme izin yang harusnya ada sosialisasi, edukasi, musyawarah yang nantinya mengarah pada kesepakatan itu tidak pernah sama sekali dilakukan oleh pihak pemrakarsa izin,” begitu kata Mas Tandi, laki-laki berumur 28 tahun yang berperawakan kecil dan berkulit gelap, ketika kami bertanya mengenai akar masalah pertambangan pasir di Sungai Progo. “Harusnya nek istilahnya orang Jawa itu kula nuwun dulu. Ini sama sekali nggak ada seperti itu. Mereka itu, datang-datang, kalau PT yang atas itu memberikan surat izin, sedangkan (PT) yang bawah itu nggak pernah sama sekali, mengajak rembugan atau musyawarah, tiba-tiba nambang. Jadi yang harusnya (diterangkan) izin itu lebar (daerah penambangan)-nya seberapa, dampak negatif dan positifnya apa itu sama sekali nggak dijelaskan. Kasarannya, masyarakat yang sudah puluhan tahun berada di sini, yang tanah kelahirannya di sini, sama sekali nggak tahu di mana surat izin itu, atau masyarakat mana yang mendukung, lalu ini pertambangan siapa, itu nggak tahu. Rancunya di situ. Sejak awal sudah nggak beres.” sambungnya. Mendengar hal itu, Daffa selaku pewawancara pun memastikan, “Itu PT Pramudya Afgani, Mas?” yang dijawab Mas Tandi dengan senyuman miris, “Dua-duanya. Dua-duanya sama semua. Cuma kalau (PT) yang atas itu terdapat pidana berupa pemalsuan data, (karena) ada daftar hadir masyarakat yang datang sosialisasi. Padahal sosialisasinya itu sendiri nggak ada. Sedangkan yang di bawah lebih parah lagi.”
Selanjutnya, Mas Tandi menjelaskan mengenai kronologi perlawanan ini. Dengan lancar ia menceritakan bahwa perlawanan ini bermula pada tahun 2017 dan dimulai oleh masyarakat di seberang dusun Jomboran, yakni warga Pundak Wetan, Nanggulan, Kulon Progo yang melawan PT Citra Mataram Konstruksi (CMK) atau PT “atas”. Sejak saat itu, warga telah melaporkan kegiatan penambangan ilegal kepada Polda DIY. Akan tetapi, hingga kini kasus tersebut masih dalam proses penyelidikan. Setelah jeda singkat, ia menambahkan, “Untuk upaya dari masyarakat yang menolak sendiri, kita sudah berupaya sesuai prosedur. Kami memberikan info pada semua pihak baik yang terkait maupun berwajib. Masyarakat memberitahukan bahwa ada kejahatan–baik sengaja atau tidak–terhadap lingkungan.”
Dengan gestur tangan yang menampakkan bahwa ia cukup geram, Mas Tandi lalu mengatakan bahwa saat ini anehnya, justru masyarakat sejumlah kurang lebih 16 orang–termasuk ia sendiri–dari 4 RT telah dikriminalisasi, diintimidasi, bahkan dipanggil oleh Polres Sleman untuk diinterogasi. Tuduhan yang ditujukan kepada 16 orang itu di antaranya berupa kekerasan terhadap barang dan orang, penghasutan, serta menghalang-halangi. “Di sisi lain,” ujarnya dengan suara yang bergetar, “mereka dari pihak PT belum pernah diselidiki. Padahal yang (PT) Pramudya Afgani itu, pada November 2020 ketika masyarakat pertama kali aksi sudah membuat kesepakatan lisan dengan masyarakat untuk melakukan musyawarah. Namun, sampai saat ini belum pernah, dan malah berupaya untuk nambang, nambang, dan nambang terus.”
Mas Tandi kemudian berpendapat bahwa seluruh masyarakat memiliki hak atas pilihan menolak atau menyetujui kegiatan tambang pasir tersebut. Mas Tandi menuturkan bahwa pihak PT beranggapan respon segelintir orang sudah mewakili semua warga. Ia kemudian menambahkan, “Memang terdapat beberapa orang yang mendukung hal ini, seperti Pak RT dan Pak Lurah, namun masyarakat sendiri tidak tahu menahu mengenai kegiatan pertambangan tiba-tiba masyarakat yang tinggal dekat Kali Progo terganggu kegiatannya bahkan terancam keselamatan jiwanya.” Mas Tandi kemudian menegaskan bahwa akar permasalahan bersumber pada kerancuan izin tambang, “Tau-tau mereka nambang aja.” Dengan berapi-api ia memrotes, “Kalau rumah kita sudah lama kita tinggali mosok halaman sama pinggir rumah digali orang kita diam saja, ya, mau tidak mau kami ngamuk!” Mas Tandi lalu meneguhkan pendapatnya, bahwa upaya yang dilakukannya dan warga dusun lainnya semata-mata hanya untuk melindungi lingkungan tempat tinggal mereka. Tidak lebih dari itu.
Setelah mengetahui tentang akar permasalahan di Jomboran, Daffa pun bertanya lebih jauh mengenai serangkaian aksi yang telah dilakukan oleh warga Dusun Jomboran. Hal ini dijawab oleh Mas Tandi dengan mengatakan bahwa sejauh ini, sudah banyak aksi yang dilakukan warga demi melindungi wilayah dusun Jomboran. Sekitar tahun 2019 warga dusun Jomboran melakukan aksi turun langsung untuk menolak penambangan. Kemudian pada tahun 2020, PT CMK memberikan undangan pemberitahuan dan menginstruksikan warga Jomboran untuk membentuk panitia perwakilan masyarakat, terlepas dari penolakan warga. “Kami dari awal tidak tahu perizinannya bagaimana siapa yang menyetujui siapa yang menolak lalu ini program seperti apa dampaknya bagaimana tiba tiba disuruh menyetujui penambangan aja.” terang Mas Tandi
Mas Tandi menerangkan bahwa untuk melawan tindakan korporat tersebut, masyarakat yang menolak ajakan PT CMK segera mengirim surat penolakan kepada gubernur. “Ya, kita sebagai warga Jomboran harus siaga melindungi tempat tinggal kami, pernah waktu itu ada alat berat kita pasang badan. Kami tidak punya pilihan, Mas, karena dinas terkait pun belum pernah datang sama sekali kesini.” ucapnya dengan miris. Menurut penuturan Mas Tandi, masyarakat dusun Jomboran sudah melakukan berbagai aksi untuk menolak penambangan, mulai dari aksi, audiensi, penolakan surat, sampai melaporkan kepada pihak berwajib.
Dari penjelasan Mas Tandi, kami menangkap bahwa inisiatif aksi tersebut murni berasal dari keprihatinan masyarakat mengenai (penyelewengan/tindakan sewenang-wenang) PT CMK dan Pramudya Afgani di Dusun Jomboran. Pengerukan pasir dan bebatuan dari Kali Progo dinilai masyarakat tidak memenuhi prosedur perizinan, dan pada praktiknya hal tersebut telah menimbulkan kerusakan alam di bantaran Kali Progo. Misalnya, di dusun Sawo, aliran Kali Progo yang melewati daerah tersebut membuat lebar sungai menjadi belasan meter semenjak dilakukannya proses eksploitasi, dari sebelumnya yang hanya kisaran 5 meter saja. Struktur sungai yang berubah ini pun telah menimbulkan bencana tanah longsor di beberapa desa bantaran sungai.
Ketika ditanya soal mengapa menggunakan aksi tanpa kekerasan, Mas Tandi mengungkapkan bahwa aksi yang dilakukan warga Dusun Jomboran selalu berdasarkan pada nalar dan unggah-ungguh (tata krama) yang berlaku. Untuk memperjelas hal tersebut, beliau memberikan analogi perusahaan yang diibaratkan sebagai gajah, dan warga Jomboran sebagai semut. Analogi tersebut bermaksud memberikan pengertian bahwa cara kekerasan langsung sangat rawan untuk dilakukan oleh pihak yang lemah. “Mau nggak mau kita harus berhati-hati… kita aja memberitahukan dalam metode seperti ini, malah diupayakan kita yang salah,” tuturnya. Kehati-hatian itu mengisyaratkan kegigihan masyarakat Dusun Jomboran dalam menentang eksploitasi pasir dan bebatuan di wilayah mereka, walaupun mereka mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari pihak berwenang.
Perjuangan masyarakat Dusun Jomboran dalam melawan aksi perusakan Kali Progo oleh perusahaan yang tidak bertanggung jawab nampaknya telah memasuki babak baru. Tindakan represif mulai dilakukan demi menekan dan memaksa warga Jomboran agar menyingkir dan tidak menghalangi proyek mereka. Kriminalisasi warga menggunakan pasal pengrusakan orang dan barang, pasal menghasut, dan pasal menghalang-halangi mulai dilancarkan oleh pihak perusahaan. Menghadapi situasi ini Mas Tandi menuturkan kepada kami bahwa inilah risiko dari segala upaya yang telah diusahakan warga Jomboran. Kedepannya, mereka akan tetap berusaha sekuat tenaga untuk menjaga alam dan mempertahankan tanah mereka agar kelak dapat dinikmati oleh anak cucu. Bahkan, kriminalisasi dan berbagai tindakan represif lainnya dianggap oleh Mas Tandi secara pribadi sebagai pemacu semangatnya untuk terus memperjuangkan Kali Progo. Mendengarkan hal ini, seketika kami merasa tertegun dan takjub atas apa yang disampaikan oleh Mas Tandi. Kami lalu memberi pertanyaan lanjutan mengenai kemungkinan adanya penggunaan kekerasan oleh masyarakat apabila cara yang selama ini ada tidak berhasil mengusir perusahaan terkait dari Dusun Jomboran. Hal ini dijawab olehnya dengan teguh, “Apapun caranya akan kita usahakan, Mas. Tapi, tentunya bukan dengan kekerasan.”
***