Resensi Film: Jakarta Disorder

Peresensi: Andriyan Yuniantoko

Baru saja pada hari Senin tanggal 27 Oktober 2014, saya menyaksikan film yang berjudul, ‘Jakarta Disorder’. Film ini diputar pada sesi kuliah Politik Perkotaan di kampus Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada. Pemutaran film ini juga dihadiri oleh sang sutradara Ascan Breuer bersama dengan dua orang kawannya, Viktor Jaschke dan Bokir. Saya tidak bercanda dengan nama terakhir. Saya pikir juga tidak ada yang lucu.

‘Jakarta Disorder’ merupakan salah satu bagian dari Trilogi Jawa (Javanese Trilogy) dengan dua film lainnya yakni ‘Paradise City’ dan ‘Riding My Tiger’. ‘Jakarta Disorder’ telah diputar di berbagai kota di Indonesia, Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta. ‘Jakarta Disorder’ bercerita tentang kehidupan rakyat miskin kota. Cerita diambil mulai dari tahun 2008 saat akan ada pemilihan presiden periode 2009-2014, hingga tahun ini, 2014. Film ini ber-genre dokumenter ini menampilkan perjuangan rakyat miskin kota hidup di sebuah tempat yang penuh dengan ironi, sesak akan kontradiksi, satire kehidupan, antagonisme sosial, dan metafora sendu asap Kopaja. Ya, sesuai judulnya latar cerita diambil di Jakarta.

Masuk ke dalam cerita film, film ini betul-betul secara detail menggambarkan kondisi masyarakat pinggiran (atau terpinggirkan lebih tepatnya) di Ibukota. Tentang kehidupan masyarakat di kawasan kumuh, menjalani hidup untuk mendapat uang, makan dan minum, sanitasi, dan bertahan hidup tinggal di rumahnya. Masalah terbesar bagi mereka yang tinggal di pinggiran atau kawasan terpinggirkan adalah harus menghadapi penggusuran. Biasanya penggusuran dilakukan atas nama estetika dunia Ibukota oleh pihak yang berkepentingan membangun sebuah hunian mewah seperti apartemen, hotel, atau kawasan intergral pemuas syahwat para kelas menengah ngehek. Pihak tersebut lantas main mata dengan Pemerintah Daerah pemegang otoritas tertinggi atas wilayahnya.

Kawan bisa saja menyalahkan masyarakat yang akan digusur dengan mengatakan, ‘Siapa suruh hidup di Jakarta. Siapa suruh tinggal di kawasan kumuh!’ bisa saja. Tapi kawan seharusnya tidak mengatakan itu.

Pertanyaan dan pernyataan kawan di atas akan saya jawab melalui pertanyaan, ‘Apakah mereka mau tinggal di tempat seperti itu?’ Jawabnya, ‘Tidak!’ ‘Mengapa mereka tidak bisa tinggal di kawasan yang lebih layak?’ Jawabnya, ‘Karena mereka memang dibuat supaya begitu!’

Ya, mereka memang dibuat supaya tetap miskin dan ujung-ujungnya dibuang atau dienyahkan. Tempat mereka tinggal akan digusur dan lahannya akan digunakan untuk pembangunan pusat pemuas syahwat kelas menengah ngehek itu tadi. Film ini telah dengan sangat baik menggambarkan ironi tersebut.

Orang-orang yang tinggal di kawasan terpinggirkan tersebut harus siap bila sewaktu-waktu diusir atau digusur. Mereka yang tinggal di sana adalah mereka yang lemah dalam finansial atau miskin. Mereka tidak memiliki pekerjaan dengan pendapatan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok hidup; sandang, papan, dan pangan, semuanya seadanya. Kebanyakan dari mereka bekerja di sektor ekonomi informal seperti buruh dengan upah rendah tanpa jaminan keselamatan, jadi pedagang, tukang becak, pengembala kambing, pengangkut air, dan sebagainya. Mereka dimiskinkan dan selalu saja begitu. Anak-anak mereka untuk sekolah saja susah. Mana mungkin akan ada perbaikan dan pembangunan masa depan yang lebih baik kalau terus saja begini. Pemerintah hanya mempedulikan pertumbuhan ekonomi kapital tanpa mempedulikan pembangunan manusianya. Lihatlah ketika rumah mereka diganti dengan hunian elit integral dengan kawasan pemuas syahwat kelas menengah ngehek itu. Memangnya masyarakat terpinggirkan itu akan tinggal di sana? Tentu saja tidak, Bung! Mereka akan kehilangan hidupnya.

‘Jakarta Disorder’ memuat peran aktivis perempuan yang bergerak dalam bidang sosial dengan basis isu kemiskinan, namanya Wardhah Hafidz. Ia sudah sejak lama bergelut dalam bidang aktivisme sosial ini. Dari Indonesia masih di bawah pemerintahan Suharto hingga Reformasi yakni sejak 1996 hingga 2014. Ia membuat sebuah organisasi nirlaba yang khusus bergerak dalam bidang kemiskinan kota dengan nama Urban Poor Consorcium (UPC). UPC merupakan lembaga non-governmental nirlaba yang dalam kajian Civil Societymerupakan jenis lembaga CS dengan model gerak mengagitasi atau mendorong masyarakat untuk aktif memperjuangkan nasibnya sendiri. Mereka yang melakukan framing atas cara turun ke lapangan, hal yang diperjuangkan atau yang menjadi repertoire.

Wardhah Hafidz merupakan wanita yang gigih, militan, kharismatik, dan revolusioner. Ia sempat menjadi koordinator umum UPC sebelum akhirnya memilih menjalankan peran lain di UPC. Ia beralasan sudah tak bisa lagi marah dan tajam. Ia bercerita ketika Nike menawarkan akan menyumbang 20 perangkat komputer untuk UPC. Wardhah Hafidz berpikir tawaran dari Nike menarik, ia kemudian mendiskusikannya dengan kawan-kawannya di UPC. Namun, Wardhah kemudian ditegur, ‘Itu Nike lho!’. Saat itulah Wardhah merasa bahwa dirinya sudah tak tajam, ‘Barangkali juga karena usia,’ katanya. ‘Maka dari itu saya meminta supaya diganti dengan yang lebih muda. Baru saja tadi dilakukan serah terima,’ ia mengatakan itu sambil tersenyum dan mengulang lagi teguran kawannya,’Nike lho.’ Memilih peran lain bukan berarti membuat Wardhah Hafidz selesai. Ia tetap mengawal UPC dan tujuan yang ingin dicapai.

Selain Wardhah, ada satu perempuan lagi yang menonjol dalam film ini. Namanya Della. Seorang perempuan berusia 60 tahun yang rumah miliknya dan tetangganya akan digusur. Ini akan menjadi penggusuran rumah kedua dalam hidupnya. Penggusuran pertama sempat membuatnya frustasi dan merasa hidupnya telah hancur. Ia kemudian bertemu dengan UPC yang baginya telah membuat hidupnya kembali. Ia jadi termotivasi dan ikut bergabung dengan UPC untuk memperjuangkan urban poverty.

Setelah pemutaran film ada sesi diskusi antara audiens dengan sutradara dan kawannya. Ascan Breuer bercerita tentang tujuannya membuat film ini. Ia bercerita tentang dirinya yang merupakan keturunan Indonesia, ibunya orang Indonesia dan ayahnya orang Jerman. Tujuannya membuat film dengan tema kemiskinan kota atauurban poverty ini adalah karena keprihatinan dan kesukaannya terhadap Indonesia.

Baginya Indonesia unik. Dalam suasana hidup yang tak menentu dengan banyak pertanyaan, masyarakat Indonesia masih dapat hidup bahagia. Menurut Ascan, itu disebabkan oleh sistem sosial masyarakat Indonesia yang kuat dan erat. Ia kemudian membandingkannya dengan Austria. Menurutnya, masyarakat tidak mampu yang tinggal di kota Austria sangat mudah mengalami depresi dan frustasi. Hal itu lantaran sistem sosial di sana yang individualistis tidak komunitarian seperti di Indonesia.

Ascan menceritakan bagian yang paling mengesankan baginya, yakni ketika warga bersama UPC melakukan demontrasi di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kota Jakarta Utara. Ascan terkesan dengan sosok Wardhah Hafidz yang menurutnya begitu kharismatik dan gigih dalam berjuang. Ya, tidak hanya Ascan, saya pun merasa seperti itu ketika sampai pada bagian itu. Wardhah Hafidz dengan berani dan ngeyel dengan bekal akal yang logis dan nurani, mendesak pihak keamanan supaya mengizinkan massa masuk untuk bertemu dengan Ketua Komisi A DPRD kota Jakarta Utara.

WH: ‘Saya ingin massa supaya diizinkan masuk. Mereka ini rakyat yang ingin ketemu sama wakilnya. Masak mau masuk ke rumahnya ndak boleh? Biarkan mereka berbicara di depan gedung ndak di sini.’

Pengaman: ‘Tapi ada aturannya, Bu. Di dalam sedang banyak agenda tidak boleh diganggu.’

WH: ‘Saya tidak peduli dengan aturan saya ndak tahu. Yang jelas membiarkan rakyat di depan sini itu tidak sopan.’

Pengaman: (terdiam)

WH: (menelepon salah satu anggota Dewan yang akan ditemui) ‘Suruh supaya pengaman gedung ini mengizinkan kami masuk.’ … ‘Ya, saya memang galak untuk urusan-urusan yang begini.’

Akhirnya massa diizinkan masuk ke dalam gedung dan bertemu dengan salah satu anggota Dewan. Public Hearing pun digelar dengan tukar keluh kesah dan pendapat.

Perjuangan masyarakat dan UPC berlanjut tanpa henti. Mereka menggalang kekuatan untuk mendorong supaya pemerintah peduli dengan nasib mereka. Ketika pemilihan umum presiden 2009 akan dilangsungkan, UPC dan masyarakat mengumpulkan 1,5 juta tanda tangan orang. Berkas tanda tangan tersebut adalah kontrak politik antara mereka dengan calon pemimpin. Semua calon pemimpin dimintai untuk menandatangani berkas kontrak politik itu. Namun, tidak satu pun dari calon pemimpin mau menandatanganinya, termasuk Susilo Bambang Yudhoyono, pemimpin terpilih.

Mereka terus berjuang hingga tahun 2012 saat pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI-Jakarta. Salah satu calon Gubernur ketika itu Joko Widodo mau menandatangani kontrak politik yang berisi penuntasan masalah lahan dan pemukiman warga. Ketika Jokowi maju sebagai Calon Presiden Pemilu 2014, ia kembali menandatangani berkas itu lagi.

Film ini secara sinematografi menarik, mampu menyentuh nurani, menggelitik logika, dan sangat direkomendasikan untuk ditonton. Film ini potret kehidupan keras Ibukota yang di dalamnya penuh perjuangan para penghuninya. Para penghuni Ibukota senantiasa menulis ode tentang kepuasan hati memperkaya diri dan abai pada saudaranya, penghuninya tak lelah menulis balada tentang riangnya hati menikmati asap Kopaja di kala macet, mengisi kanvas dengan wajah muram karena banjir yang terus menggenang padahal banjir adalah akibat dari usaha memperkaya diri yang abai pada saudaranya.

guest
0 Komentar
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments