Refleksi Kiprah Kaum Muda dalam Aktivisme Kesenian

Kaum Muda: Seni dan Aktivisme
(lppmsintesa.com/hanan)

Pada Senin (28/10), Beranda Rakyat Garuda berkolaborasi dengan Pameran Seni Rupa Dolorasa Sinaga dan Budi Santoso mengadakan  diskusi yang bertajuk “Kaum Muda: Seni dan Aktivisme”. Dipandu oleh Reza Muharam, diskusi ini turut menghadirkan Rocky Gerung selaku pemerhati sosial, Enin Supriyanto seorang kurator, dan Melati Suryodarmo yang merupakan seniman pertunjukkan. Diskusi yang bertempat di Pendopo Ajiyasa, Jogja Nasional Museum ini menjadi bentuk peringatan atas Hari Sumpah Pemuda sekaligus refleksi atas aktivisme seni di Indonesia.

Reza membuka diskusi dengan memaparkan  pokok pembahasan yang akan dibicarakan; kaum muda, seni, dan aktivisme. Menurutnya tiga tema besar itu akan dibahas dalam konteks emansipasi hari-hari ini. Diskusi yang bertepatan dengan Hari Sumpah Pemuda turut membuat Reza mempertanyakan kaitannya dengan tiga tema besar pembahasan. “Apa masih ada maknanya itu [sumpah pemuda]?” tanyanya.

Diskusi kemudian dilanjutkan dengan pemaparan terkait aktivisme melalui seni oleh Enin. Enin menjelaskan jika kerja-kerja kolektif seni di Indonesia mulai mendapatkan signifikansinya pasca era orde baru atau reformasi, tepatnya di tahun 2000-an awal hingga sekarang. Pada mulanya, kerja-kerja kolektif seni tersebut hanya marak di beberapa kota besar seperti Jakarta dan Jogja. Namun, sambung Enin, setelah satu dekade kemudian, sekitar tahun 2010 hingga sekarang, cakupan wilayahnya dengan cepat meluas ke kota-kota lain. “Jadi ini bisa dikatakan, secara serentak [kerja-kerja kolektif seni] bergerak dan memenuhi ruang-ruang praktik seni di Indonesia, khususnya yang berkenaan dengan aktivisme,” paparnya.

Selain itu, Enin juga menjelaskan tentang salah satu corak aktivisme kesenian sekarang yang mempunyai perbedaan dengan era sebelumnya. Menurutnya, gaya aktivisme kesenian sekarang umumnya memiliki muatan kritik terhadap metode-metode atau cara kerja aktivisme dari generasi seniman sebelumnya. Salah satu contohnya adalah esai Ronny Agustinus tahun 2001 yang mengkritik praktik seniman-seniman sebelumnya. “Jadi, teman-teman ini [seniman] mulai mencurigai, mengkritik, dan tidak percaya bahwa metode-metode yang dibawakan oleh generasi sebelumnya bisa diterima begitu saja,” ucapnya.

Paparan selanjutnya datang dari Melati soal proyeksi aktivisme di masa depan. Baginya, saingan aktivisme di masa depan antara lain adalah Artificial intellegence (AI), pertukaran data elektronik, dan lain-lain. Ia menyebut aktivisme di masa depan sebagai aktivisme yang berbeda, dalam arti perlawanan yang dilakukan sudah tidak lagi bersifat komunal, melainkan individual. “Karena kalau ada peretas saja sudah habis, lah,” tuturnya.

Lebih lanjut, Melati memberi penekanan bahwa aktivisme dan seni membutuhkan strategi yang tepat untuk mengungkapkan pemikiran melalui mediumnya masing-masing. Misalnya, jika aktivisme dilakukan dengan cara kolektif, maka diperlukan pemahaman organisasional yang memadai untuk bisa mencapai tujuannya. Sebaliknya, jika aktivisme dilakukan dengan cara individual, maka diperlukan teknik-teknik yang terampil untuk mengungkapkan pesannya. 

Mengakhiri paparannya, Melati juga memperlihatkan sikap optimisnya terkait komunitas seni hari-hari ini. Ia meyakini jika komunitas seni secara umum mampu berperan dalam perubahan sosial. Sebab, aktivisme tidak hanya diperuntukkan untuk melawan dominasi kuasa yang makro, melainkan juga  mikro seperti tindakan menyikapi realitas sosial yang paling dekat dengan kehidupan sehari-hari. Hal ini lah yang membuatnya optimis karena seringkali telah dilakukan walaupun dengan skala kecil. “Saya kira bisa, kok, banyak sekali justru,” tegasnya.

Di sisi lain, Rocky, pembicara terakhir, menjelaskan jika kaum muda sebagaimana yang menjadi tema utama diskusi tidak relevan dengan aktivisme. Baginya, tidak ada beda antara aktivis tua dan aktivis muda. “Yang ada hanyalah progresif atau oportunis? Hanya itu,” tegasnya.

Selanjutnya, Rocky juga menceritakan konteks aktivisme 90-an yang menurutnya konfrontatif terhadap kekuasaan. Bahkan, berdasarkan kesaksiannya, ia menginginkan jika kekuasaan Orde Baru (Soeharto) semakin bengis sebagai alasan untuk melakukan perlawanan. “Jadi, kebengisan itu adalah umpan bagi aktivisme,” ujarnya.

Diskusi ditutup oleh penjelasan Rocky soal muatan seni. Ia memberi pengandaian jika semua hal yang berpotensi menghentikan seni sebagai media untuk berbicara adalah sama seperti patung. “Beda antara patung dan manusia adalah patung bisa ditafsirkan, manusia mematung, dia berhenti sebagai tafsir,” pungkasnya.

Penulis: Hanan Athariq Al Hanif

Penyunting: Nasywa Putri Wulandari

guest
0 Komentar
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments