Demi menyongsong Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 yang berkualitas, Gardu Pemilu berkolaborasi dengan PolGov Fisipol UGM menyelenggarakan Seminar Indonesia Rumah Bersama pada Kamis (18/1). Bertempat di Auditorium Mandiri Gedung BB Lantai 4, Fisipol UGM, dengan mengangkat tema “Tantangan & Masa Depan Demokrasi-Toleransi di Indonesia”. Seminar ini turut menghadirkan Okky Madasari (sastrawan-akademisi), Jay Akhmad (Koordinator Gardu Pemilu Jaringan GUSDURian), dan Amalinda Savirani (Kepala PolGov Fisipol UGM) sebagai narasumber serta Sarah Monica (penulis) sebagai moderator.
Linda mengawali seminar dengan memaparkan bahwa demokrasi di Indonesia saat ini tengah mengalami penurunan. Hal tersebut dapat dilihat dari adanya penurunan kebebasan sipil, polarisasi ideologi, serta penurunan demokratisasi dan penekanan kelompok kritis melalui instrumen hukum. Dalam konteks Pemilu 2024, ia menaruh perhatian pada instrumen hukum yang digunakan untuk melegalkan pencalonan wakil presiden dengan tendensi penguatan politik dinasti. “Salah satu paling kontekstual untuk Pemilu 2024 adalah apa yang disebut sebagai penguatan tren politik keluarga, sering sekali secara populer disebut politik dinasti,” ujarnya. Linda memperkuat argumennya dengan menunjukkan data Indeks Demokrasi Indonesia tahun 2023 yang dirilis oleh V-Dem Institute. Ditemukan fakta bahwa secara umum, kualitas demokrasi Indonesia mengalami penurunan sebesar 0,055.
Linda juga memaparkan terkait peluang demokrasi di Indonesia. Pertama, terbukanya ruang bagi masyarakat biasa maupun kelompok-kelompok marjinal untuk berkontestasi dalam pemilu. Hal tersebut direpresentasikan dengan eksistensi calon legislatif (caleg) pinggiran, seperti caleg dari kalangan pekerja rumah tangga (PRT) yang diusung oleh Partai Buruh. Bagi Linda, potensi terpilihnya akan lebih kecil sebab sistem pemilu Indonesia yang sangat mahal (high cost election). Namun, setidaknya pernyataan ‘orang biasa bisa masuk dalam politik’ merupakan pernyataan yang benar. Kedua, pemanfaatan teknologi aplikasi dan media sosial sebagai sarana kolaborasi. Secara tidak langsung, kolaborasi mampu mengoptimalkan seluruh potensi warga negara untuk menjadi bagian dari pihak yang berkontribusi. Ketiga, generasi z dan Korean Pop. Kreativitas generasi z yang berpadu dengan pop culture mampu membuka peluang. “Peluang untuk mempopulerkan, mengedukasi pentingnya Indonesia, pentingnya demokrasi, pentingnya Indonesia sebagai rumah bersama dan kemudian bertindak,” pungkas Linda.
Sejalan dengan pernyataan Linda, Jay turut menyebut kondisi demokrasi Indonesia saat ini tengah mengalami tantangan dan memiliki beberapa celah dalam pelaksanaannya. Secara khusus, Jay mendefinisikan persoalan demokrasi Indonesia sebagai demokrasi yang minus literasi. Masyarakat secara terus-menerus dipertontonkan dengan konten politik yang didominasi oleh gimik, alih-alih konten politik yang bersifat substansial. Imbasnya, kualitas demokrasi Indonesia dalam kurun waktu terakhir mengalami regresi dan bertentangan dengan tujuan Reformasi 1998. “Jangan lepas dari peristiwa 1998 yang menjadi momentum demokrasi kita. Proses demokratisasi tidak boleh berbalik arah,” tegas Jay.
Jay mengungkapkan bahwa kemunduran demokrasi Indonesia disebabkan oleh berbagai faktor. Ia menyoroti bagaimana politik uang di Indonesia mengalami proses normalisasi. Padahal, politik uang berpotensi mengaburkan kekuatan utama demokrasi yang semestinya dimiliki oleh rakyat, bukan pemimpin negara ataupun wakil rakyat. Selanjutnya, Jay menjelaskan isu mayoritarianisme yang masih berkembang di masyarakat juga menjadi pemicu mundurnya demokrasi. Ia kembali memberikan penekanan pada kebimbangan pemerintah dalam mengatasi konflik antar golongan. Namun, Pemerintah dinilai cenderung mendengarkan mayoritas sehingga melanggar hak-hak golongan minoritas atau kelompok rentan lain. Kemudian, “perwakilan minus keterwakilan” menjadi istilah yang dipilih Jay sebagai tantangan demokrasi. Baginya asumsi bahwa demokrasi terbatas pada proses pemilu menyebabkan pelemahan kontrol masyarakat sipil terhadap pemerintah. “Demokrasi seakan-akan hanya selesai dengan kertas suara. Suara melalui mulut dan energi kita untuk mengawal proses demokrasi seakan-akan tidak perlu lagi karena sudah memilih di bilik suara,” terangnya.
Berbeda dengan Linda ataupun Jay, Okky lebih berfokus pada ketimpangan ekonomi sebagai tantangan utama dari demokrasi Indonesia. Kondisi suatu masyarakat atau daerah yang memiliki ketimpangan ekonomi yang tinggi membuat isu demokrasi dan toleransi tidak relevan untuk diprioritaskan. Okky kemudian menyebut perlu adanya perbaikan dari sisi ekonomi, hukum, dan pendidikan untuk menyelesaikan permasalahan demokrasi di Indonesia. Harapannya, dengan ekonomi yang berjalanan beriringan bersama demokrasi, masalah-masalah terkait regresi demokrasi ataupun intoleransi dapat teratasi sehingga Pemilu 2024 dapat berjalan secara adil serta kondusif. “Kita tidak akan bisa berbicara soal demokrasi dan toleransi ketika ketimpangan ekonomi masih saja terjadi,” ujarnya.
Penulis: Devira Khumaira & Nasywa Putri Wulandari
penyunting: Andreas Hanchel Parlindungan Sihombing