Kamis (07/3), Dewan Mahasiswa (Dema) Fisipol UGM mengadakan Forum Selasar Fisipol dalam rangka menyambut Hari Perempuan Internasional 2024. Diskusi kali ini mengusung tema “Hak Pekerja Perempuan di Fisipol”. Dema menghadirkan tiga narasumber, yaitu Alvi Syahrina (Dosen dan Serikat Pekerja Fisipol), Indri Dwi Apriliyanti (Dosen dan Serikat Pekerja Fisipol), serta Marga Ningsih (Federasi Serikat Pekerja Mandiri). Bertempat di Fisipoint lantai dua Fisipol UGM, diskusi menyoroti berbagai tantangan dalam pemenuhan hak dan kebutuhan dasar pekerja perempuan yang masih sering terabaikan.
Marga mengawali diskusi dengan penekanan terhadap pentingnya pekerja perempuan untuk bergabung dalam sebuah serikat. Menurutnya, hak-hak pekerja perempuan tidak akan cukup tersampaikan jika organisasi hanya diisi oleh laki-laki. Marga meyakini bahwa hak dan kebutuhan pekerja perempuan hanya akan terakomodasi dengan adanya perempuan sebagai pengurus maupun ketua serikat pekerja. “Jadi, sebenarnya kita bisa menyuarakan kebutuhan perempuan itu harus gimana, kan gak semua laki-laki juga tahu,” tambahnya.
Selanjutnya, Marga juga menyampaikan kisahnya yang sempat mengalami diskriminasi di lingkungan kerja hanya karena statusnya sebagai perempuan. Meski memiliki pengalaman kerja profesional dan berbagai prestasi, Marga tetap mendapat diskriminasi dalam aspek hak dan karir. “Akhirnya kita juga protes kenapa kok ada diskriminasi. Padahal, ada undang-undang yang mengatur tidak boleh didiskriminasi,” ucapnya. Oleh karenanya, Marga menyebut tindakan diskriminasi ini dapat membuat pekerja perempuan harus mengembangkan karir di luar perusahaan kerjanya.
Selaras dengan pengakuan Marga, Indri menyebut tindakan diskriminatif turut terjadi di lingkungan Fisipol UGM. Salah satu yang menjadi perhatian Indri adalah kurangnya kesadaran laki-laki terhadap beban ganda perempuan dalam ranah domestik dan karir. “Peran domestik yang sangat besar dan rendahnya kesadaran dari kolega laki-laki membuat perempuan menjadi sulit sekali untuk menerima ajakan bekerja di saat akhir pekan,” ungkap Indri. Ia menambahkan kondisi ini diperparah dengan adanya label loyalitas rendah bagi pekerja perempuan yang menolak bekerja di luar hari efektif.
Selain itu, Indri kembali menerangkan bahwa isu soal pekerja perempuan di Fisipol tidak berhenti pada satu permasalahan. Kultur kerja yang patriarkis, perdayaan pikiran, pengabaian dan penyangkalan isu gender, standar ganda, intervensi kampus dalam kehidupan pribadi, serta kekerasan seksual turut menjadi keresahan yang harus dihadapi pekerja perempuan di Fisipol. Sambungnya, hal ini dilatarbelakangi oleh normalisasi norma patriarkis yang masih langgeng di lingkungan kerja Fisipol . Misalnya ketika kenaikan pangkat masih bersifat patriarkis, lingkungan kerja tidak mendukung untuk menyuarakan adanya permasalahan tersebut. “Nggak ada tuh, sepertinya problem patriarkis di sini, itu hanya ada di ketakutan perempuan saja.” Indri menceritakan ungkapan rekan dosen laki-laki senior.
Alvi menambahkan persoalan terkait inklusivitas infrastruktur yang ada di Fisipol UGM. Sebutnya, Fisipol masih belum menyediakan klinik dan ruang laktasi yang aman dan nyaman bagi pekerja perempuan yang sedang menyusui. Sehingga yang terjadi, mereka hanya mengandalkan ruangan yang ada di departemen masing-masing. “Mungkin kalo sekarang belum ada ruangan khusus untuk laktasi, cuma ini sangat penting untuk memastikan privasi dan kebersihan tempat,” ujarnya.
Oleh karenanya, Indri dan Alvi mengatakan bahwa Serikat Pekerja Fisipol (SPF) telah merekomendasikan kampus beberapa solusi untuk membentuk lingkungan kerja yang inklusif bagi perempuan. Pertama, perlu membangun infrastruktur klinik dan ruang laktasi serta memperbaiki fasilitas daycare. Kedua, sistem kerja yang manusiawi meliputi cuti melahirkan bagi siapa saja, pemerataan distribusi kerja, flexible work arrangement bagi pekerja perempuan yang memiliki kepentingan domestik tak terelakkan ketika jam kerja. Ketiga, interaksi sosial yang menekankan pada kampanye terkait perilaku seksisme, membuat regulasi untuk mendobrak patriarki, menghindari budaya pengamat dengan mengakui adanya bias gender, serta evaluasi berkala terkait perilaku pegawai dalam koridor gender.
Dalam kondisi-kondisi yang kian meresahkan, para pekerja perempuan didorong untuk membangun kondisi ideal yang dapat memberi ruang untuk mendapat hak-hak dasarnya. Marga menceritakan bahwa ia selalu berusaha untuk memperlakukan pekerja perempuan dan laki-laki dengan setara. Kemudian baginya, sehingga tidak ada pembeda antara hak dan kewajiban mereka sebagai pekerja. Namun, Marga mengungkap bahwa diskriminasi yang terjadi di tempat kerjanya, seperti isu terkait gaji, juga menimpa pekerja yang lebih vokal terhadap adanya ketimpangan. Selain itu, Marga menanggapi isu terkait pemberangusan serikat pekerja dengan menggarisbawahi pentingnya kesadaran anggota serikat pekerja bahwa mereka berjuang bersama-sama. “Kita berusaha terus di internal perusahaan serta bergabung dengan seluruh serikat pekerja untuk memperjuangkan hak-hak buruh,” ungkapnya.
Penulis: Annisa Dewi Maharani & Nasywa Putri Wulandari
Penyunting: Resha Allen Islamey