ARTIKEL LEPAS
Majalah Indikator SINTESA №08/IX/1992
Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran dihadapkan pada situasi pelik. Para pengamat melihat RUU ini bagai racun yang melemahkan independensi media dengan membatasi kebebasan pers dalam menyajikan berita yang beragam, faktual, dan aktual. Profesionalitas lembaga dan orientasi bisnis yang muncul di kalangan pemerintah digadang-gadang menjadi alasan mendasar dalam pembuatan RUU tersebut.
As a new product of the government, this was once voiced in a similar context by Mg Sulistyorini (Executive Director of PT Kanisius) when she was still a Communication Science student at FISIPOL UGM. She wrote about her concerns about the development of television media that only benefits a handful of parties. Television media is actually experiencing an increasing deadlock in prioritizing professionalism and changes in technical and ethical aspects within it.
LPPM SINTESA menerbitkan ulang tulisan artikel opini Mg Sulistyorini yang terbit dalam majalah Indikator LPPM SINTESA edisi №08/IX/1992. Simak tulisan selengkapnya.
Ketika berita bakal kemunculan perusahaan televisi swasta mulai menggoyang Yogyakarta, saya turut berada di jajaran warga Yogya yang kegirangan. Swastanisasi televisi akhirnya melanda kota Yogya pula. Tapi entah mengapa kegembiraan itu tak berlangsung lama. Tiba-tiba saja muncul kekhawatiran yang semua orang tentu akan mengharap, itu hanyalah suatu kecemasan yang berlebihan. Kekhawatiran ini berawal dari ingatan saya pada isu bajak-membajak wartawan di kalangan penerbit pers. Hal yang sempat ramai dibicarakan dalam media cetak beberapa waktu lalu. Bukankah kemungkinan ini bisa saja juga terjadi di kalangan institusi televisi, ketika TVRI tak lagi merupakan kekuatan tunggal.
Saya tertegun ketika membaca Harian Kompas, 24 Agustus 1992, bahwa dropping (penunjukkan) pegawai TVRI pada tahun 1988, menunjukkan kenyataan “pahit” tentang masuknya 60 pegawai baru. Dari 60 orang itu, hanya satu orang saja yang tidak mempunyai hubungan keluarga apa pun dengan orang Deppen (Departemen Penerangan).
Kenyataan ini menimbulkan suatu pertanyaan, apakah TVRI kini (saat itu) telah berubah menjadi sebuah dinasti? Dinasti yang berjalan di atas pertimbangan kelangsungan hubungan famili dan bisnis. Sehingga hampir mustahil bagi seorang profesional yang kebetulan bernasib buruk — untuk bekerja di dalamnya — karena tidak terlahir sebagai keluarga orang Deppen. Belum lagi kenyataan tentang masih tersaruknya pendanaan di TVRI, yang bergulir bersamaan dengan ruwetnya bermacam peraturan. Baik yang berkaitan dengan masalah keuangan maupun birokrasi, makin menjepit TVRI yang dalam waktu dekat harus berhadapan dengan kehadiran “mitra”-nya.
Bukankah sesuatu yang konyol apabila era baru pertelevisian Indonesia yang ditandai dengan swastanisasi televisi, ternyata diwarnai oleh fenomena timpangnya profesionalisme dalam institusinya? Masih bisakah kita berbangga dengan suatu prestasi yang ternyata berbuntut “bajak-membajak” tenaga profesional yang jumlahnya dapat dihitung dengan jari? Itu pun masih untung kalau mereka yang sedikit ini tidak kemudian terpeleset ke commercial oriented (berorientasi komersial) karena sempitnya ruang gerak bagi kreativitasnya.
Betapapun “mitra”-nya televisi swasta terhadap TVRI, tentulah bukan berarti bajak-membajak tenaga profesional lantas ditabukan. Apalah dosa membajak tenaga dari “mitra” sendiri, kalau memang ada kemampuan untuk melakukannya? Dalam kondisi seperti ini, memang hanya kekuatan institusilah yang dapat mempertahankan tenaga-tenaga profesional yang dimilikinya. Kemampuan institusi untuk membangun loyalitas tenaga kerja terhadap institusinya, nampaknya merupakan kunci untuk menghindarkan diri dari pembajakan sang “mitra”.
Professionalism in Mass Media Institutions
Menurut Ashadi Siregar, pengertian profesionalisme memiliki berbagai makna. Dalam bahasanya, Ashadi memberikan ilustrasi bahwa bagi dunia olahraga, profesionalisme diartikan sebagai kegiatan yang memperoleh imbalan uang. Berbeda dengan dokter, pendeta, atau pengacara yang memandang profesi sebagai kegiatan kerja yang eksklusif karena hanya bisa dimasuki orang yang telah menempuh pendidikan khusus dan mendapat pengakuan dari sesamanya. Sedangkan dalam bidang kegiatan media massa (termasuk televisi), profesionalisme dititik-beratkan pada aspek teknis dan etik dari suatu kegiatan kerja.
Aspek teknis menyangkut masalah-masalah operasional dalam mencapai tujuan. Sedangkan aspek etik lebih berkaitan dengan persoalan tanggung-jawab etis terhadap idealisme. Pada gilirannya aspek etik ini akan membawa semacam gugatan-gugatan filosofis tentang konteks sosial dari profesi. Etik selalu dilihat sebagai pembatas bagi aspek teknis, hingga pelaku profesi dibatasi dalam pencapaian tujuannya. Namun, di samping itu, etik juga dapat dilihat sebagai rujukan eksistensial agar suatu profesi memiliki konteks sosial. Aspek teknis yang tidak memiliki pembanding etik, dapat terjerumus pada pengukuran tindakan yang didasarkan pada operasi teknik belaka.
Dengan demikian, tampaklah bahwa profesionalisme dalam media massa, membutuhkan jalinan teknis dan etik yang harmonis. Keharmonisan itu hanya bisa dicapai dalam iklim yang kondusif. Artinya, jalinan akan timpang ketika situasi birokrasi, investasi, ataupun teknologi dalam tubuh institusi tidak mendukung lancarnya operasionalisasi teknik yang berjumbuh dengan pembatasan-pembatasan etik yang relevan.
Selanjutnya, karena sebuah institusi media massa tidak berdiri sendiri, melainkan berada dalam konteks sosial, maka ia pun tidak terhindar dari daur sistem sosial. Daur sistem inilah yang memaksanya untuk berperilaku sesuai tuntutan sifat interaksi dalam bangunan sosial di mana — institusi media massa — menjadi bagiannya.
Dari sini kita dapat memahami problem-problem yang muncul dengan membaca konteks sosial yang ada, terutama yang berkaitan dengan birokrasi. Kita pula dapat menduga nafas kehidupan dalam institusi TVRI sekarang ini, untuk kemudian memprediksi jalinan aspek teknis dan etik macam apa yang kini tengah berjalan.
Itulah sebabnya ketika Harian Kompas menampilkan persoalan ketimpangan birokrasi, investasi, dan teknologi dalam TVRI, segera muncul kecemasan mengenai minimnya profesionalisme pelaku profesi dalam tubuh TVRI.
Our Television Dilemma
Betapa pun hormat kita pada TVRI, tetap tak melenyapkan kesadaran kita bahwa sebenarnya tenaga-tenaga profesional belum banyak dimiliki oleh TVRI. Hal ini saling berkorelasi dengan masalah-masalah yang terjadi. Skenario yang terbayangkan adalah selama masalah-masalah di seputar birokrasi, investasi, dan ketimpangan. Sebab lonjakan teknologi belum teratasi, maka peluang pengembangan profesionalisme dari pelaku profesi di TVRI belum akan terjamin. Hal ini akan terus terjadi ketika TVRI masih belum mampu melepaskan diri dari keterikatannya untuk selalu bertolak dari sifat faktual sistem sosial yang menjeratnya, tanpa berani mengembangkan suatu asumsi normatif yang kadang memang harus menyimpang dari garis faktual garis interaksi sosial. Saat itu pula pelaku profesi terjebak dalam ketidakleluasaan membangun sikap profesionalismenya.
Kondisi ini bukan tidak mungkin menyebabkan si pelaku profesi yang sebenarnya potensial namun “terpenjara” dalam kungkungan dilema birokrasi, investasi, dan teknologi yang menyebabkan kehilangan antusiasme dalam dirinya. Jika demikian halnya, bukankah ini berarti ancaman bakal tergusurnya profesionalisme dalam pertelevisian?
Let’s say a professional who is concerned with his ethical responsibilities. He will certainly be tortured in this “imprisoned” situation. If he is loyal to his profession, he will look for opportunities where his capacity can be channeled adequately. As a result, those who have professional abilities – the number can be counted on the fingers – run away from TVRI. If this really happens, what else does TVRI have? Even though it is the monopoly holder of news and information programs? How will TVRI be able to properly account for its news and information presentations, if it turns out that its “partner” has poached its mainstay personnel?
Apabila kita sempat melihat cermatnya Mayong S. Laksono mengagenda keteledoran-keteledoran TVRI dalam menginformasikan unsur when pada beberapa sajian Dunia dalam Berita, mungkin kita akan paham bahwa monopoli yang tidak disertai dengan sikap profesional, akan lebih parah lagi akibatnya. Bukankah sangat benar apa yang dikatakan Mayong? Bahwa kedudukan TVRI sebagai “pemrakarsa tunggal” dalam materi berita dan informasi dapat saja menjadi ajang pengesahan bagi sajian berita dan informasi yang nyaris bebas koreksi. Tentu dalam hal ini yang dimaksud Mayong adalah pengecualian koreksi bagi dan dari elite kelompok kepentingan tertentu. Apabila kemudian kegembiraan menyambut kehadiran SMTV di Yogyakarta tiba-tiba disusul oleh semacam kegelisahan, tentulah kini dapat dimengerti bahwa itu (perasaan) bukan sekadar mengada-ada.
Bagaimana kita dapat meyakini, bahwa meski tersendat oleh monopoli TVRI atas berita dan informasi itu, SMTV akan tetap muncul sebagai kekuatan imbangan yang menawarkan kemungkinan lebih bagi pengembangan profesionalisme? Bagaimana kalau ternyata SMTV yang “pasti” tidak lepas dari business oriented itu bahkan menarik para pelaku profesi yang potensial bukan dengan janji keleluasaan kreativitas? Namun sekadar kepenuhan materi? Karena toh ia pun merupakan bagian dari bangunan sosial yang punya batas-batas interaksi sosial tertentu — layak hadir dalam konteks sosial — dengan bagian-bagian lain dalam sistem. Pertanyaan lanjutannya adalah, bagaimana kita bisa bertepuk tangan atas hadirnya “mitra” TVRI ini, sementara kita cemas terhadap konsekuensi kehadirannya?
Tampaknya memang baik TVRI maupun televisi swasta di Indonesia sampai saat ini masih menghadapi persoalan dalam menciptakan profesionalisme di antara para pelaku profesi dalam tubuhnya. Bagi TVRI permasalahannya lebih pada bagaimana melonggarkan batas-batas birokrasi, investasi, dan teknologi yang terlanjur memenjarakan para pelaku profesinya. Sedangkan televisi swasta semacam SMTV tampaknya lebih tertantang dalam permasalahan bagaimana menghindari kuasa komersialisme dalam menggusur profesionalisme. Meskipun ini bukan berarti bahwa televisi swasta itu terbebas dari permasalahan yang dihadapi oleh TVRI.
Langkah yang tepat memang bukanlah menyetop kemunculan sang “mitra” untuk membuktikan solidaritas pada TVRI, namun pemahaman persoalan, disertai kesediaan mencari solusi. Meski mungkin mengakibatkan tergesernya kemapanan birokrasi. Benar bahwa tidak ada kata yang tepat untuk mengawali pembenahan selain rekonseptualisasi diri bagi TVRI dan kejelasan konsep bagi SMTV.
Meski tuntutan ini sungguh klise dan membosankan, namun seperti selalu kita duga sebelumnya, memang di sinilah kuncinya. Keberanian melepaskan diri dari prinsip faktual, mungkin akan membawa kita pada peluang pengembangan profesionalisme yang lebih luas. Hadirnya televisi swasta memang merupakan prestasi era informasi. Namun syaratnya, apabila disertai dengan kesiapan pengembangan profesionalitas para pelaku profesi yang terlibat di dalamnya. Jika tidak atau belum, ia hanyalah merupakan peluang bisnis yang menghambat prestasi.
Penulis: Mg Sulistyorini (Direktur Eksekutif PT. Kanisius)
Disunting ulang oleh Alit Akhiral