Pemindahan IKN dari DKI Jakarta: Suksesi yang Memarginalisasi Hak-Hak Masyarakat Adat Kalimantan

Wacana pemindahan Ibu Kota Negara menguat sejak pertama kali diumumkan oleh Presiden Jokowi melalui konferensi pers pada 26 Agustus 2019 lalu. Kalimantan Timur menjadi lokasi yang ditetapkan sebagai Ibu Kota Negara (IKN) baru, tepatnya di Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU) dan Kutai Kartanegara. Tak seperti yang terjadi pada masa pendahulu-pendahulunya, wacana pemindahan IKN para era Jokowi telah mencapai tahap yang lebih lanjut. Hal ini ditandai dengan disahkannya UU No. 3 Tahun 2022 atau UU IKN oleh Presiden Jokowi pada 15 Februari 2022 lalu, menandakan proses pemindahan IKN secara resmi akan dilaksanakan.

Pengesahan UU IKN tersebut menandakan akan dimulainya sebuah megaproyek yang melibatkan banyak pihak dan akan berdampak terhadap banyak pihak pula. Salah satu pihak yang akan terdampak adalah masyarakat dan warga lokal yang sudah bertempat tinggal di Kalimantan Timur, termasuk masyarakat adat. Dilansir dari Kompas.com, AMAN memperkirakan, bahwa setidaknya terdapat 20.000 masyarakat adat di Kalimantan Timur yang akan terdampak oleh pembangunan IKN. 

Muhammad Arman, Direktur Advokasi Kebijakan Hukum dan HAM dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), menuturkan terkait wilayah yang akan terdampak dan pentingnya untuk memprioritaskan hak masyarakat adat sebagai pihak yang juga ikut terdampak pembangunan IKN Baru. “Sejak awal, AMAN mengingatkan jika ada rencana pemindahan Ibu Kota Negara, maka yang paling penting dan harus dipastikan adalah bagaimana memastikan hak-hak masyarakat adat dan lokal menjadi prioritas utama terhadap perlindungan hak mereka,” tuturnya. Oleh karena itu, menurutnya, proses perencanaan pembangunan IKN tentunya harus melibatkan partisipasi publik, tentunya dalam hal ini adalah masyarakat adat dan masyarakat lokal sebagai orang yang akan terdampak secara langsung dengan adanya pembangunan IKN.

Sayangnya, pesan AMAN seakan tak digubris oleh pemerintah. Tak ayalnya, UU tersebut menuai banyak kontroversi dan kritik. Selain karena prosesnya yang dianggap serba kilat, partisipasi publik yang utuh juga absen dari proses tersebut. Perlu digarisbawahi, bahwa meski dalam penyusunan UU IKN ini minim aspirasi masyarakat, tetapi bukan berarti tidak melibatkan aspirasi masyarakat sama sekali, “Pertama, saya ingin mengatakan apakah betul RUU IKN itu tidak ada partisipasi, hal itu tidak sepenuhnya benar,” ujar Arman. Namun apakah hal tersebut cukup? Tentu tidak, karena masyarakat sangat perlu dan ingin untuk terlibat secara penuh dalam hiruk pikuk penyelenggaraan IKN ini, khususnya dalam konteks kali ini adalah penyusunan UU IKN. Hal ini bukan tanpa alasan tentunya, mereka menginginkan agar aspirasi mereka didengar, ditampung, dan dilibatkan agar tidak ada pihak yang merasa dizalimi. 

Menanggapi pentingnya mendengar aspirasi masyarakat, pemerintah kemudian melakukan konsultasi publik. Namun, Arman merasa bahwa langkah pemerintah tersebut lebih kental disebut sosialisasi dibandingkan sebuah usaha untuk mendengarkan aspirasi publik. Parahnya, hal tersebut hanya dilakukan terhadap sebagian kecil masyarakat. Terlebih, pertemuan yang dilakukan oleh pemerintah hanya dilakukan dengan masyarakat yang mendukung pemindahan ibu kota saja. Tentunya, sekumpulan orang yang ditemui pemerintah ini tidak dapat dilihat sebagai representasi keseluruhan masyarakat. Bahkan, berdasarkan penuturan Arman, terdapat protes dari akademisi-akademisi Universitas Mulawarman karena tidak diberikannya ruang bagi mereka untuk memberi masukan-masukan substantif terhadap RUU IKN. Sejauh ini, gambaran adanya ruang bagi publik untuk turut berpartisipasi secara utuh masih belum terlihat. 

Persoalan pentingnya partisipasi publik, sebelumnya pernah disampaikan oleh AMAN dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) yang diadakan pada Desember 2021 oleh panitia kerja RUU IKN. Dalam RDPU tersebut, AMAN juga mengemukakan tiga poin penting lainnya yang harus diperhatikan oleh pemerintah. Pertama, perlunya pengarusutamaan, perlindungan, dan pemenuhan hak masyarakat adat. Kedua, perlunya mekanisme penyelesaian konflik mengingat banyaknya konflik yang sudah ada, terutama dalam hal tumpang tindih izin konsesi lahan. Terakhir, perlunya ada upaya rehabilitasi bagi masyarakat adat yang terdampak sebagai pemulihan atas hak mereka. Lagi-lagi, hal tersebut tidak digubris oleh pemerintah. Hingga RUU tersebut disahkan, poin-poin yang disampaikan oleh AMAN dinilai sama sekali belum tercermin dalam UU IKN.

UU IKN sebenarnya sudah mengandung pasal yang mengatur mengenai persoalan masyarakat adat, yakni dalam pasal 21 UU No. 3 Tahun 2022 bahwa perlindungan atas hak individu dan hak komunal masyarakat adat akan diperhatikan serta dilindungi selama pelaksanaan pembangunan. Selain itu, Hak Atas Tanah (HAT) masyarakat dan masyarakat adat juga akan diperhatikan dalam pengadaan tanah. Namun, Arman menilai bahwa pasal ini hanyalah pasal ‘bunga-bunga’ saja. “Pasal ini sekadar untuk menyatakan bahwa negara sudah hadir. Tapi apa wujud sesungguhnya, menurut saya tidak ada sesuatu yang bisa menjamin dan memastikan bahwa pemindahan IKN tidak menjadi ruang untuk munculnya tindakan-tindakan yang bersifat eksklusif terhadap hak masyarakat,” ungkap Arman. Hal ini bermakna, agar kita jangan sampai melemahkan pengawalan dan pengawasan kita terhadap implementasi UU IKN ini nantinya, tentunya agar hak-hak masyarakat adat dapat benar-benar terjamin, sehingga tidak perlu ada pihak yang tercederai.

Perlindungan serta pemenuhan hak-hak masyarakat adat sendiri diwarnai dengan kerumitan akibat pengakuan hak masyarakat adat yang masih dilakukan melalui jalur legislasi atau secara de jure alih-alih de facto. Dijelaskan oleh Yando Zakaria, peneliti dari Pusat Kajian Etnografi Masyarakat Adat (PUSTAKA), bahwa upaya pengakuan hak masyarakat adat bersifat bersyarat dan bertahap. “Bersyarat artinya, hak masyarakat adat, dalam hal ini tanah, itu kalau masyarakat adat tersebut masih memenuhi kriteria tertentu; sesuai zaman dan tidak bertentangan dengan NKRI.Bertahap artinya adalah sebelum hak masyarakat adat diakui, subjeknya (eksistensi masyarakat adat) harus ditetapkan dulu. Jadi, kalau saya anggap saya masyarakat adat dan saya punya tanah adat, sebelum tanah adat saya diakui, maka subjeknya (saya) harus ditetapkan dulu sebagai masyarakat adat dan itu gak main-main, dengan Perda,” terangnya.

Hal tersebut cenderung rigid. Seperti dalam kasus ini, sebelum hak-hak masyarakat adat dapat diakui, eksistensi masyarakat adat harus terlebih dahulu diatur dalam dan/atau melalui peraturan daerah. Padahal, masyarakat sangat membutuhkan aksi dan tindakan yang efektif, karena pengakuan terhadap masyarakat adat merupakan landasan yang kuat untuk memperjuangkan hak mereka, khususnya hak kepemilikan atas wilayah atau lahan mereka. Hal tersebut diatur dalam UU Pokok Agraria (UU PA) serta UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Dari rentetan tersebut, dapat kita lihat bahwa untuk mendapat pengakuan terhadap haknya saja, masyarakat adat harus menempuh proses yang sedemikian rumitnya dan bahkan sangat mungkin menguras biaya yang tidak sedikit. 

Lebih jauh, dalam UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, dikatakan bahwa masyarakat adat termasuk salah satu pihak yang berhak menerima ganti rugi atas objek pengadaan tanah, dimana dalam konteks ini, adalah ganti rugi atas tanah adat yang terdampak proses pembangunan IKN Baru. Namun, siapa yang berhak mendapatkan ‘ganti rugi’ di dalam UU tersebut, masih harus diperjelas dalam Peraturan Daerah terkait. Arman menuturkan, “Memang benar bahwa (dalam) UU No. 2 tahun 2012, masyarakat disebutkan sebagai pihak yang berhak dalam pengadaan tanah. Tapi, untuk disebut sebagai pihak yang berhak, masih harus diatur dalam Perda.”

Di Kalimantan Timur, persoalan masyarakat adat diatur dalam Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Timur No. 1 Tahun 2015. Sayangnya, kemunculan UU IKN justru menjadi momok bagi masyarakat karena cenderung meniadakan peran peraturan daerah dalam melindungi masyarakat seperti yang tertuang dalam Pasal 42 poin b UU IKN. Pasal ini berbunyi “Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pemerintahan daerah, dinyatakan tidak berlaku dalam hal kegiatan persiapan, pembangunan, dan pemindahan Ibu Kota Negara, serta penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara.

Dengan tidak berlakunya peraturan daerah dalam konteks pembangunan IKN, maka masyarakat adat menjadi tidak memiliki landasan hukum yang dapat memastikan HAT mereka. Kalaupun pemerintah menjanjikan ganti rugi materi, bukan berarti hal tersebut dapat menyembuhkan luka akibat pembangunan yang mungkin dirasakan masyarakat adat. “Kehilangan tanah itu kehilangan segalanya, kalau kehilangan tanah itu sama dengan kehilangan identitas dan mata pencaharian,’’ ungkap Arman.

Pernyataan tersebut cukup menggambarkan signifikansi tanah dalam kehidupan masyarakat adat sebagai ruang hidup, sumber mata pencaharian, serta identitas masyarakat adat. Kemudian, kebutuhan lahan yang tinggi dalam pembangunan IKN menimbulkan benturan antara HAT masyarakat dengan kebutuhan lahan oleh pemerintah. Hal ini masih diperparah dengan kepastian hukum mengenai HAT masyarakat adat yang tidak jelas, sehingga membuat pembangunan IKN menjadi sebuah momok dan/atau ancaman besar bagi mereka. Masyarakat adat akan menghadapi kesulitan dalam mempertahankan hak mereka atas tanah sehingga hak-hak masyarakat akan terabaikan.

Tak hanya berhenti di situ, konflik berbasis lahan juga berpotensi menyulut konflik sosial. Pemerintah memang telah melakukan kajian terhadap aspek sosial, salah satunya dalam konteks penyingkiran akibat arus pembangunan yang deras, dan menganggap bahwa dampak konflik sosial tidak signifikan. Namun, kajian tersebut belum dianggap cukup oleh Yando. Menurutnya, belum ada analisis yang cukup mendalam mengenai permasalahan sosial dan lahan. Hal tersebut sudah disampaikan olehnya kepada Bappenas pada 2019. Namun, pada akhirnya, tidak ada tindakan lebih lanjut dari pemerintah. Dua tahun kemudian, kekhawatiran tersebut diperkuat dengan adanya kajian dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dengan judul “Broker tanah dan potensi eskalasi konflik berbasis lahan di lokasi Ibu Kota Negara baru”.

Menurut kajian BRIN, wacana pemindahan IKN ke Kalimantan Timur telah mengubah cara pandang penduduk terhadap lahan. Lahan yang sebelumnya dilihat dan dimanfaatkan berdasarkan nilai kegunaannya, kini dilihat melalui nilai tukarnya. Meningkatnya nilai tukar lahan secara signifikan memberikan celah bagi masuknya para calo tanah. Calo tanah, dengan memanfaatkan pengetahuan mereka akan kondisi sosial budaya penduduk serta akses terhadap informasi lahan, dapat mempertemukan pemilik modal dengan pemilik lahan, memfasilitasi pembukaan lahan baru, hingga memfasilitasi penerbitan surat segel atau surat adat bagi sebidang tanah. BRIN menilai munculnya para calo tanah ini dapat mengeskalasi potensi konflik.

Menurut Yando, dengan dinamika sosial politik yang terus berkembang, maka komunitas akan merespons terhadap perkembangan dan perubahan tersebut. Hal ini tidak dapat dilihat sebagai suatu hal yang sudah pasti. Oleh karena itu, selain kajian yang lebih mendalam, kajian secara bertahap juga perlu dilakukan seiring dengan perkembangan situasi yang ada. “Jangan sampai IKN memperparah luka lama dan menambah luka baru,” pungkas Yando. 

Berdasarkan data dan pandangan ahli yang telah dikumpulkan, dapat kita lihat bahwa penting bagi pemerintah untuk melindungi dan menjamin hak-hak masyarakat adat. Karena, dapat dikatakan mereka adalah kelompok yang paling rentan terdampak dari pembangunan IKN baru. Penjaminan hak masyarakat, khususnya dalam konteks ini adalah tanah adat, bukan berarti serta merta mencokok suara mereka dengan uang ganti rugi. Perlu dipahami bahwa persoalan tanah bukanlah perkara urusan administratif dan bersifat jual-beli dan untung semata. Lebih dari itu, tanah mengandung unsur budaya, kelestarian (ekologis), dan banyak unsur lainnya yang terkadang masih kurang disadari. Terakhir, tentu penting juga untuk pemerintah agar melibatkan masyarakat, khususnya masyarakat adat dan masyarakat setempat dalam setiap proses pembangunan IKN, baik itu proses formulasi, implementasi, dan bahkan evaluasi. Pada akhirnya, pemerintah harus lebih banyak mendengar dan mengakomodasi aspirasi masyarakat, alih-alih memberikan sosialisasi secara top-down dan hanya membuka telinganya kepada masyarakat yang pro saja.

Pewawancara: Regina Fortunata Yandi, Salsabilla Azzahra Octavia

Penulis: Desi Purwanti, Septania Rizki Mahisi, Syadillana Putri Alifia

Penyunting: Ishlah Abidin Atmaja & Sekarini Wukirasih

guest
0 Komentar
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments