Korps Mahasiswa Politik dan Pemerintahan (KOMAP) Fisipol UGM menggelar konferensi pers dengan tajuk “Kembalilah ke Demokrasi” pada Senin (12/02) di Selasar Barat Fisipol UGM. Konferensi pers tersebut merupakan respons atas kekecewaan mahasiswa terhadap dua akademisi yang berasal dari almamater mereka, yakni Pratikno, Menteri Sekretaris Negara dan Ari Dwipayana, Koordinator Staf Khusus Presiden sehubungan dengan perilaku politik yang telah dilakukan. Dalam kesempatan tersebut, sejumlah sivitas akademika Departemen Politik dan Pemerintahan (DPP) mulai dari mahasiswa lintas angkatan hingga dosen turut hadir untuk menyuarakan pernyataan sikap mengenai situasi terkini demokrasi di Indonesia.
“Kepada Pak Pratikno dan Mas Ari Dwipayana guru-guru kami di Departemen Politik dan Pemerintahan (DPP) Fisipol UGM, izinkan kami menuliskan surat ini untuk menyampaikan rasa cinta sekaligus kecewa,” ujar Rubiansyah selaku perwakilan mahasiswa saat mengawali konferensi pers. Lebih lanjut, ia mengungkapkan keresahan terkait demokrasi yang menghadapi ancaman serius, bahkan menuju ambang kematian. Ancaman demokrasi tersebut ditunjukkan dengan adanya revisi UU KPK, terbitnya UU Cipta Kerja, revisi UU ITE, dan peristiwa-peristiwa lain yang turut menodai demokrasi Indonesia. Rakyat dihadapkan pada serangkaian tindakan menyimpang seperti pelanggaran etika dan perusakan akar demokrasi oleh pihak berkuasa. “Para penguasa dengan tidak malu menunjukkan praktik-praktik korup demi langgengnya kekuasaan. Konstitusi dibajak untuk melegalkan kepentingan pribadi dan golongannya,” imbuh Rubiansyah.
Rubiansyah menyatakan bahwa dari peristiwa yang akhir-akhir ini terjadi, terlihat bahwa kondisi demokrasi Indonesia tidak hanya mengalami kemunduran atau kecacatan, melainkan berada dalam situasi yang sangat kritis. Ia sangat menyayangkan karena di suatu kelas demokrasi, Pratikno dan Ari pernah menyampaikan kepada mahasiswanya bahwa demokrasi merupakan sebuah berkah yang harus selalu dijaga keberlangsungannya. Selain itu, Rubiansyah juga menyoroti pemikiran Cornelis Lay yang merupakan rekan Pratikno sekaligus guru dari Ari tentang konsep intelektual jalan ketiga. Ia memandang konsep tersebut sebagai jalan alternatif yang ideal bagi para akademisi untuk turut andil dalam kekuasaan tanpa mengingkari prinsip dasar intelektual dan mengorbankan karakter akademis. “Jalur itulah yang seharusnya diyakini dengan teguh oleh setiap akademisi saat mereka memberanikan diri naik ke panggung kekuasaan,” ungkap Rubiansyah.
Meski menyadari bahwa permasalahan penurunan kualitas demokrasi merupakan permasalahan sistemik yang disebabkan oleh multiaktor, Rubiansyah mewakili mahasiswa DPP turut menyampaikan permohonan maaf kepada publik atas nama Pratikno dan Ari. Baginya, walaupun bukan kesalahan Pratikno dan Ari semata, tetapi mereka juga telah menjadi bagian dari persoalan bangsa. “Untuk itu, izinkan kami mewakili Pak Tik dan Mas Ari menyampaikan permintaan maaf kepada seluruh rakyat Indonesia atas hal itu,” jelas Rubiansyah.
Di akhir pembacaan ‘surat cinta’, Rubiansyah juga memohon kepada Pratikno dan Ari untuk kembali ke jalan yang benar sebagai akademisi yang sudah sepatutnya menjaga pilar demokrasi. “Hari ini kami berseru bersama, kembalilah pulang. Kembalilah membersamai yang tertinggal, yang tertindas, yang tersingkirkan. Kembalilah ke demokrasi dan kembalilah mengajarkannya kepada kami, dengan kata dan perbuatan,” ujarnya.
Di sisi lain, seruan terbuka yang dilakukan oleh mahasiswa tersebut mendapat sambutan baik dari Kaprodi DPP, yaitu Abdul Gaffar Karim. Ia secara langsung mengapresiasi sekaligus mendukung gerakan yang dipelopori mahasiswanya sebagai upaya untuk menyampaikan rasa ‘rindu’ kepada dua dosen yang saat ini menduduki jabatan strategis di kursi pemerintahan. Menurutnya, aksi yang telah dilakukan merupakan sebuah ajakan yang penting dan perlu untuk direspons oleh pihak-pihak terkait, khususnya yang dimuat dalam naskah seruan terbuka. “Saya rasa ajakan dari mahasiswa tadi adalah ajakan yang perlu didengar,” tegas Gaffar.
Sejalan dengan pernyataan Gaffar, Joash yang merupakan dosen DPP turut memberi respons positif terhadap aksi seruan terbuka mahasiswa kepada Pratikno dan Ari. Berbeda dengan Gaffar, Joash menyebut pentingnya melakukan upaya-upaya untuk menjaga demokrasi agar tetap berjalan sesuai prinsip dan tujuannya. Dalam hal ini, Joash menekankan keberadaan etika sebagai hal yang perlu dipertahankan keberadaannya pada demokrasi Indonesia. Joash bahkan menyebut bahwa di era ini, etika menjadi nilai yang tengah dipertaruhkan dalam demokrasi. “Etika, hal itu yang saat ini dipertaruhkan,” tutup Joash.
Penulis: Adinda Rahmania dan Devira Khumaira
Penyunting: Nasywa Putri Wulandari